I. PENDAHULUAN
Fiqh Islam merupakan kumpulan hukum yang digali oleh para mujtahid dari dalil-dalil (sumber) syara’ yang rinci. Ditinjau dari segi sumbernya, maka hukum fiqh Islam itu dapat dibedakan:
1. Hukum-hukum yang bersumber pada nash-nash syara’ yang qathy (diyakini) baik dari segi periwayatannya (wurudnya) maupun dari segi dilalahnya (petunjuknya) kepada hukum. Hukum fiqh yang dalam bentuk ini bersifat pasti dan mengikat seluruh kaum muslimin untuk mengikutinya dan tidak boleh dipertikaikan lagi, seperti kewajiban shalat, puasa, haji, zakat, kewajiban menepati janji, persyaratan suka sama suka dalam jual beli. Dalam hubungan ini, Imam Syafi’i mengatakan dalam kitabnya Al Risalah: “apabila Allah sudah menetapkan hukum tertentu terhadap suatu peristiwa/kejadian, maka setiap muslim wajib mengikutinya”.
2. Hukum-hukum yang sumbernya berupa nash-nash yang zhonny dilalahnya kepada hukum, tetapi terdapat peluang berijtihad terbatas pada pemahaman nash, maka para mujtahid wajib berijtihad untuk mentarjihkan hukum yang ditunjuki oleh nash Hukum yang ditarjihkan mujtahid tersebut adalah hukum Allah terhadap peristiwa/kejadian bersangkutan menurut dugaan kuat (zhan)-nya dan dia wajib mengamalkan demikian pula orang yang meminta fatwa kepadanya. Pembuatan undang-undang menurut hukum yang tidak keluar dari batas nash yang zhonny dilalahnya itu dibolehkan. Oleh karena itu boleh saja hukum di suatu negara Islam menetapkan iddah dengan tiga kali suci sementara di negeri Islam yang lain menetapkannya tiga kali haid (menstruasi).
3. Hukum-hukum yang terdapat dalilnya dalam suatu nash syara’ baik qath’y maupun zhonny, akan tetapi terdapat pemikiran dan kesepakatan bersama para ulama mujtahid dalam menyimpulkan suatu masalah.
4. Hukum-hukum yang tidak ditunjuk oleh nash baik qath’y maupun zhonny serta tidak pula terdapat kesepakatan para mujtahid suatu masa. Inilah yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqh semua mazhab. Hukum-hukum dalam bentuk ini hanyalah merupakan hasil istinbath perorangan mujtahid bersangkutan, sesuai dengan daya capai akal pikirnya dan kondisi serta situasi yang melingkupinya. Oleh karenanya, bukanlah merupakan hukum yang pasti tentang kejadian/peristiwanya, sehingga siapa saja mujtahid lain baik yang semasa dengan mereka ataupun sesudahnya boleh saja mengadakan istinbath hukum yang distinbathkan mujtahid terdahulu kembali walaupun hasilnya berbeda, seperti halnya bisa terjadi perbedaan pendapat antara para mujtahid yang segenerasi dan senegeri, bahkan seorang mujtahid dapat pula mengubah ijtihadnya dengan ijtihad baur. Dengan demikian, pendapat seorang mujtahid tentang hukum sesuatu kejadian/peristiwa bukanlah merupakan hujjah yang mengikat kaum muslimin di manapun di dunia ini untuk mengikutinya. Namun demikian, hasil ijtihadnya mengikat dirinya sendiri untuk mengikutinya dan demikian juga orang-orang yang meminta fatwa kepadanya. Hujjah yang mengikat seluruh kaum muslimin adalah: Kitabullah, Sunnah Rasulullah yang Mutawatir dan kesepakatan bulat para mujtahid (S. Abdullah:1995:1-3).
II. HUKUM ISLAM
Dalam kepustakaan tentang Hukum Islam yang berbahasa Inggris, dikenal dua terminologi yaitu Islamic Law sebagai terjemahan dari Syariah dan Islamic Jurisprudence sebagai terjemahan dari Fikih (Fiqh).[1] Syariat adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya yang secara jelas terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.[2] Sedangkan fikih dapat diartikan sebagai hasil pemahaman para ahli Hukum Islam klasik terhadap syariat.[3]
Menurut Juhaya S. Praja, Fiqh secara harfiah berarti “memahami” atau “mengerti”. Berdasarkan pengertian etimologi inilah terminologi fiqh berarti memahami dan mengetahui wahyu Al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan penalaran akal dan metode tertentu sehingga diketahui ketentuan hukum perbuatan subjek hukum (mukallaf)[4] dengan dalil- dalilnya secara rinci.[5] Metode yang digunakan untuk mengetahui dan memahami ketentuan hukum itu terbentuk dalam suatu disiplin ilmu Hukum Islam tersendiri yang disebut Ushul Fiqh. Oleh karena itu perbedaan di bidang Fiqh yang seringkali disebut perbedaan furu’iyyah[6] yang dasarnya adalah perbedaan Ushul Fiqh yang merupakan landasan epistemologi Hukum Islam. Pada hakikatnya perbedaan aliran atau mazhab Hukum Islam adalah perbedaan Ushul Fiqh-nya.[7]
Dengan mengutip Muhammad Faruq Nabhan, Dede Rosyada menyatakan, dengan melihat pada subjek penetapan hukumnya para ulama membagi kepada tasyri samawi (Ilahy) dan tasyri wadh’i.[8] Yang dimaksud dengan tasyri samawi adalah penetapan hukum yang dilakukan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah sedangkan yang dimaksud dengan tasyri wadh’i adalah penentuan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid.
Sedangkan kata tasyri adalah bentuk masdar dari syara’ dengan siddah para huruf ra’ yang diambil dari kata syariat.[9]
Hasbi Ashshiddieqy menjelaskan tasyri yang berasal dari kata syariat pada asalnya bermakna jalan yang lempang atau jalan yang dilalui air terjun. Selanjutnya ia membagi Hukum Islam kepada tasyri ilahy yakni peraturan yang ditetapkan melalui Al-Qur’an dan Hadits dan tasyiri wadh’i yakni peraturan yang ditetapkan oleh para mujtahid dengan jalan mengistimbatkan dari tasyri ilahy.[10]
Sehubungan dengan hal ini Imam Muchlas mengatakan bahwa semua dalil itu hanya satu yaitu wahyu, sebab dalil akal harus bersandar kepada wahyu, karena akal tidak dapat berdiri sendiri.[11]
Hadits atau Sunnah sendiri dapat menjadi dalil syariat karena ditunjuk langsung oleh Al-Qur’an, sehingga hadits sendiripun tidaklah merupakan dalil yang berdiri sendiri, akhirnya dalil pokok itu kembali kepada Al-Qur’an. Hadits atau Sunnah sebagai dalil syariat ditunjuk sendiri oleh nash Al-Qur’an, di antaranya ialah:
1. QS. 59:7. Menyatakan: “Dan apa yang diberikan Rasul kepadanya, maka terimalah dia dan apa yang dilarang-Nya, maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah”
2. QS. 3:31. Menyatakan: “Katakanlah: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
3. QS. 3:32. Menyatakan: “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.[12]
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjuk hadits sebagai dalil syariat ialah tersebut dalam (QS. 16: 44); (QS. 7: 157); (QS 4: 59, 65, 80); (QS. 3: 31, 32, 132, 164); (QS. 24: 47, 48, 51, 52, 54, 62).[13]
Untuk mempermudah pemahaman mengenai perbedaan antara syariat dan fikih oleh H.M. Daud Ali perbedaan pokok antara keduanya adalah sebagai berikut:
1. Syariat, seperti telah dijelaskan di atas terdapat dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Kalau kita berbicara tentang Syariat yang dimaksud adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Kalau kita berbicara tentang fikih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat’ dan hasil pemahaman itu.
2. Syariat bersifat fundamental, dan mempunyai ruang lingkup yang luas, karena ke dalam oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak. Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut perbuatan hukum.
3. Syariat adalah ketetapan Allah dan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi, fikih adalah hasil karya manusia yang tidak berlaku abadi dan dapat berubah dari masa ke masa.
4. Syariat hanya satu, sedang fiqih mungkin lebih dari satu seperti terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab.
5. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragamannya.14
Sehubungan dengan hal ini pula M. Taher Azhary dalam bukunya Negara Hukum, memberikan rincian ringkas mengenai perbedaan syariat dan fikih. Syariat dan fikih adalah dua term yang berbeda, tetapi relasi keduanya sangat erat. Fikih tidak mungkin lahir tanpa adanya syariat. Dilihat secara kronologis, maka syariat lahir lebih dahulu dari fikih. Syariat ditentukan oleh Allah sedangkan fikih adalah hasil pemikiran manusia terhadap syariat. Secara umum syariat mengandung prinsip-prinsip dasar internal karena ia bersumber dari wahyu Allah yang memang demikian. Validitasnya tidak mungkin diubah, sebaliknya fikih sebagai hasil pemahaman manusia bersifat temporer, artinya mungkin saja ada hal-hal yang dapat ditinjau kembali sesuai dengan perkembangan budaya manusia, zaman dan kebutuhan. Fikih berisi rincian dari syariat, karena itu ia dapat disebut sebagai suatu elaborasi terhadap syariat. Elaborasi yang dengan menggunakan akal pikiran atau ra’yu.15
III. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Telah disepakati bahwa Hukum Islam ada tiga, yakni Al-Qur’an, As-Sunnah dan pendapat para mujtahid.
Menurut sejarah Hukum Islam penarikan garis hukum ini erat kaitannya dengan riwayat termasyhur tentang tanya jawab antara Nabi dengan Muazd bin Jabal, pada waktu akan berangkat ke empat jabatannya yang baru sebagai Gubernur/Hakim di Yaman.16
Tanya jawab itu berlangsung sebagai berikut:
“Tanya Nabi: “Dengan apa kamu menetapkan hukum?” Jawab Muazd: “Dengan kitab Allah”. Tanya Nabi lagi: “Kalau kamu tidak mendapatkannya di sana?” Jawab Muazd: “Dengan sunnah Rasulullah”. Tanya Nabi lagi: Kalau tidak juga kamu dapati di sana?” Saya berijtihad dengan mengambil keputusan sendiri. Maka nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kepada utusan Rasul-Nya untuk mendapatkan hal yang disukai oleh Allah dan Rasul-Nya”.17
Riwayat termasyur yang diakui keotentikannya oleh seluruh umat Islam ini menunjukkan dengan tegas penglihatan dan pandangan jauh dari Nabi akhir zaman. Karena dengan itu, kalian telah menjadikan Hukum Islam bersifat abadi sepanjang jaman. Selama manusia yang dianugerahi akal masih ada, maka Hukum Islam pun tentu akan masih tetap ada. Ia senantiasa sesuai dan dapat diterima akal sehat.
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad sebagai mu’jizat terbesar bagi beliau dan dapat dijadikan hujjah (argumentasi) untuk memperkuat kebenaran beliau sebagai Rasul Allah. Al-Qur’an itu juga merupakan undang-undang yang mengatur seluruh umat manusia, dan sebagai satu kegiatan ibadah bila kita membacanya.19
Nama bagi Al-Qur’an bermacam-macam dan masing-masing nama itu mengandung arti dan makna tertentu, antara lain:
1. Al Kitab, artinya buku atau tulisan. Arti ini untuk mengingatkan kaum muslimin supaya membukukannya menjadi buku.
2. Al-Qur’an, artinya bacaan. Arti ini untuk mengingatkan supaya ia dipelihara/dihapal bacaannya di luar kepala.
3. Al Furqan, artinya pemisah. Arti ini mengingatkan supaya dalam mencari garis pemisah antara kebenaran dan kebatilan, yang baik dan yang buruk haruslah daripadanya atau mempunyai rujukan padanya.
4. Al-Huda, artinya petunjuk. Artinya ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan kepadanya.
5. Al Zikr, artinya ingat, arti ini menunjukkan bahwa ia berisikan peringatan dan agar selalu diingat tuntutan dalam melakukannya setiap tindakan.20
Susunan Al-Qur’an yang sekarang tidak mencerminkan urut-urutan waktu turunnya, sebab ayat yang diturunkan pertama kali ialah Surat Al-Alaq yang terletak diakhir-akhir juz ke-30, sedangkan ayat terakhir yang diturunkan ialah 3 dari surat Al-Maidah yang terletak dalam juz yang ke tujuh.21
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat dengan jumlah ayat 6342. Keseluruhan waktu turunnya adalah 22 tahun 2 bulan 22 hari dan terbagi dalam dua fase, yaitu fase selama rasul berada di Mekkah, kurang lebih 12 tahun 2 bulan 22 hari dan fase selama ia berada di Madinah, kurang lebih 10 tahun. Ayat-ayat yang turun di Mekkah, pendek-pendek dan berisi soal-soal keimanan, sedang ayat-ayat yang turun di Madinah banyak berisi hukum-hukum dan tata aturan kemasyarakatan. Oleh karena itu kebanyakan ayatnya panjang-panjang sesuai dengan tabiat kata-kata pada perundang-undangan.22
Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup mengandung tiga hal pokok:
1. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan aqidah (keimanan) yang membicarakan tentang hal-hal yang wajib diyakini, seperti masalah tauhid, masalah kenabian, mengenai kitab-Nya, malaikat, hari kemudian dan sebagainya berhubungan dengan doktrin akidah.
2. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukallaf berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa kepada kehinaan (doktrin akhlak).
3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf (doktrin syariat). Dari hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan berkembangnya ilmu fiqh. Hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an terdiri dari dua cabang, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hukum-hukum mu’amalat yang mengatur hubungan dengan secara manusia.23
Mengutip Abd Wahab Khallaf selanjutnya Satria Effendi M. Zein merinci hukum-hukum bidang muamalah sebagai berikut:
a. Hukum Keluarga, mulai dari terbentuknya pernikahan, sampai ke masalah talak, rujuk, iddah, kewarisan. Ayat-ayat yang mengatur masalah ini tercatat sekitar 70 ayat.
b. Hukum Mu’amalah (Perdata), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan seseorang dengan yang sejenisnya, seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, syirkah (kongsi dagang), utang piutang, dan hukum perjanjian. Hukum-hukum jenis ini mengatur hubungan perorangan, masyarakat, hal-hal yang berhubungan dengan harta kekayaan serta memelihara hak dan kewajiban masing-masing. Ayat-ayat yang mengatur hal ini terdiri dari 70 ayat.
c. Hukum Jinayat (Hukum Pidana), yaitu hukum-hukum yang menyangkut dengan tindakan kejahatan. Hukum-hukum seperti ini bermaksud untuk memelihara stabilitas masyarakat, seperti larangan membunuh serta sangsinya, larangan menganiaya orang lain, larangan berzina, larangan mencuri, larangan merampok serta ancaman hukuman atas pelakunya. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 30 ayat.
d. Hukum al-Murafa’at (Acara), yaitu hukum-hukum yang menyangkut dengan peradilan, kesaksian dan sumpah. Hukum-hukum seperti ini dimaksudkan agar putusan hakim dapat seobjektif mungkin, dan untuk itu diatur hal-hal yang memungkinkan untuk menyingkap mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 13 ayat.
e. Hukum Ketatanegaraan, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan. Hukum-hukum seperti ini dimaksudkan untuk mengatur penguasa dengan rakyat, dan mengatur hak-hak pribadi dan masyarakat. Ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah ini sekitar 10 ayat.
f. Hukum Antar-Bangsa (Internasional), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan non-Islam dan cara pergaulan dengan non-muslim yang berada di negara Islam. Ayat-ayat mengatur hal ini sekitar 25 ayat.
g) Hukum Ekonomi dan Keluarga, yaitu hukum-hukum yang mengatur hak fakir miskin dari harga orang-orang kaya.
Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan keuangan antara orang yang berpunya dengan orang yang tidak berpunya, dan antara negara dengan perorangan. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 10 ayat.24
B. Al-Sunnah
Al-Sunnah ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah, baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan).25 As-Sunnah bagi Muhatditsin (ulama hadits) misalnya apa saja yang dikutip dari Rasulullah, berupa perkataan, perbuatan taqrir, perangai atau perilaku beliau. Apakah itu terjadi sebelum beliau diutus menjadi Rasul maupun setelahnya, sehingga As-Sunnah dengan makna ini serupa dengan hadits Nabawi. Namun jika dilihat lebih khusus lagi, yang dimaksud Al Hadits adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya sesudah nubuwah. Selain hadits Nabawi, yaitu lafal dan maknanya dari Nabi, ada pula hadits Qudsy yaitu hadits yang maknanya dari Allah, lafalnya dari Nabi.26
Ulama-ulama hadits mengadakan penggolongan terhadap hadits berdasarkan cara pemberitaannya. Kalau sesuatu hadits diriwayatkan dari Nabi SAW oleh banyak orang yang menurut kebiasaan tidak mungkin berbuat dusta, kemudian diterima oleh orang banyak, maka hadits tersebut disebut “Hadits Mutawir”. Kalau hanya diriwayatkan oleh perseorangan dari Nabi SAW, kemudian pada masa berikut diriwayatkan oleh orang banyak maka hadits tersebut disebut “Hadits Masyhur”, sampai seterusnya kalau hanya diriwayatkan oleh orang perseorangan, maka disebut “Hadits Ahad”.27
Kemudian dilihat dari segi keadaan diri si perawi, seperti ketelitian, ingatan dan kejujuran dalam meriwayatkan hadits, maka hadits Ahad dapat dinilai kepada hadits Shahih, Hasan dan Dhaif.
Penggolongan-penggolongan tersebut mempunyai akibat dalam bidang penetapan hukum. Hadits Mutawir pasti menimbulkan keyakinan tentang kebenaran isinya dan harus dipakai. Hadits Masyhur menimbulkan dugaan yang lebih kuat tentang kebenaran isinya dan mengharuskan kita memakainya pula. Hadits Ahad yang Shahih menimbulkan dugaan yang kuat tentang kebenaran isinya yang diriwayatkan dari Rasul dan mengharuskan kita memakainya. Mengenai hadits Ahad yang tidak mempunyai dugaan kuat pada umumnya untuk lapangan penetapan hukum tidak diperpegangi.28
C. Al Ra’yu (Akal Pikiran/Ijtihad)
Secara harfiah ra’yu berarti pendapat dan pertimbangan. Seseorang yang memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana disebut orang yang mempunyai ra’yu.29 Al-Qur’an sendiri berulang-ulang mengajar manusia untuk menggunakan akal pikiran dalam merenungkan ayat-ayatnya.
Dasar hukum penggunaan akal pikiran ini dalam pengembangan hukum Islam itu adalah (1) Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59, (2) Hadits Muazd bin Jabal yang menjelaskan bahwa Muazd sebagai penguasa (ulil amri) di Yaman dibenarkan oleh Nabi untuk berijtihad, (3) Contoh-contoh yang diberikan ulil amri yang lain seperti Umar bin Khattab beberapa tahun setelah Nabi wafat dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul dan berkembang dalam masyarakat pada awal perkembangan Islam.
Ayat dan hadits hukum yang qath’i sifatnya baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang ada dalam kitab-kitab hadits, bukanlah menjadi lapangan atau objek ijtihad yang sudah jelas teks atau nashnya, seperti bagian terdahulu untuk orang tertentu dalam keadaan dalam hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an, adalah qath’i sifatnya. Nash atau teks yang zhanni sifatnya merupakan objek ijtihad, untuk mendapatkan artinya yang paling tepat dalam konteks tertentu.
IV. PENUTUP
Dari uraian di atas memperlihatkan bahwa umat Islam mewarisi dua hal penting, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber sebagai sumber ajaran. Dan sejarah dinamika kajian hukum Islam yang telah dilakukan para ulama terdahulu beserta perangkat produk-produk pemikirannya dan teori-teori kajian hukum mereka.
Sejarah ini memperlihatkan bahwa proses penerapan ajaran Islam itu, perlu analisis nalar kaum terdidik karena doktrin-doktrin Al-Qur’an dan As-Sunnah itu bersifat konstan dan tidak mengalami perubahan setelah habisnya masa risalah Muhammad, sementara dinamika sosial telah melahirkan perubahan-perubahan besar dalam tata kehidupan umat Islam sendiri.
Proses aplikasi ajaran-ajaran Islam terhadap fenomena sosial yang senantiasa berubah inilah yang menuntut dilakukannya kajian-kajian ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Azhary, M. Tahir. 1994. “Hukum Islam dalam Era Pasca Modernisme”. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sukardja, Ahmad. 1995. Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk. Cetakan Pertama. Jakarta: UI Press.
------------------------. 1994. “Al-Qur’an dan Tiga Kategori Hukum dalam Islam”. dalam Mimbar Hukum, No. 14 Tahun V.
Praja, Juhaya S 1994. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya. Cetakan Kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Praja, Juhaya S. 1994. Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktik. Cetakan Kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rosyada, Dede. 1996. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Cetakan Keempat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Junaedi, Dedi. (trans). M. Ali As-Sayis. 1996. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Akademika Pressindo.
Ashshiddieqy, Hasbi. 1967. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Mulia.
Muchlas, Imam. 1996. Waris Mewaris dalam Islam (Studi Kasus). Cetakan Pertama. Pasuruan: Garuda.
Ashshiddieqy, Hasbi. 1964. Problematika Hadits sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ali, M. Daud. 1993. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Azhary, M. Tahir. 1992. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Madinah dan Masa Kini. Cetakan Pertama. Jakarta: Bulan Bintang.
Harjono, Anwar. 1987. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Cetakan Kedua. Jakarta: Bulan Bintang.
Harjono, Anwar. 1995. Ibid.; Mun’im A. Sirry. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar. Cetakan Pertama. Surabaya: Risalah Gusti.
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Cetakan Kedua. Jakarta: UI Press.
Matdawan, M. Noor. 1983. Lintasan Sejarah Pembentukan dan Pembinaan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bina Usaha.
Ramulyo, M. Idris. 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.
Hasan, M. Ali. 1996. Perbandingan Mazhab. Cetakan Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.
Hanafi, Ahmad. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Bulan Bintang.
Zein, Statria Effendi M. 1996. Usul Fikih. Diktat Kuliah Usul Fikih. Ciputat : Syarif Hidayatullah.
Roestam, St. Dkk. 1992. Menelusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syariat Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Kalam Mulia.
[1]H.M. Tahir Azhary. 1994. “Hukum Islam dalam Era Pasca Modernisme”. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 10.
[2]Ahmad Sukardja. 1995. Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk. Cetakan Pertama. Jakarta: UI Press, hlm 10. Lihat pula dalam tulisannya “Al-Qur’an dan Tiga Kategori Hukum dalam Islam”. dalam Mimbar Hukum, No. 14 Tahun V, 1994, hlm. 84.
[3]H.M. Tahir Azhary. Lo.cit.
[4]Mukallaf artinya yang sudah dibebani hukum dan dapat bertanggung jawab atas tindakannya, yakni orang-orang yang sudah sampai umur (baliqh) dan berakal. Maksud syara’ menetapkan manusia di bawah beban taklif adalah untuk mengeluarkan manusia dari tekanan hawa nafsu dengan keharusan tunduk di bawah perintah syara’ agar terpelihara diri masyarakat dan lingkungan yang meliputi: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
[5]Juhaya S. Praja. 1994. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya. Cetakan Kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. v.
[6]Furu’iyyah berarti cabang-cabang, bentuk jamak dari al-far’ untuk membedakannya dengan masalah yang berkenaan dengan pokok beragama yang disebut Ushuluddin atau ilmu kalam (teologi).
[7]Juhaya S. Praja. 1994. Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktik. Cetakan Kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm v.
[8]Dede Rosyada. 1996. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Cetakan Keempat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 2.
[9]Dedi Junaedi. (trans). M. Ali As-Sayis. 1996. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Akademika Pressindo, hlm. 1.
[10]Hasbi Ashshiddieqy. 1967. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Mulia, hlm 13.
[11]Imam Muchlas. 1996. Waris Mewaris dalam Islam (Studi Kasus). Cetakan Pertama. Pasuruan: Garuda, hlm. 13.
[12]Ibid., hlm. 14.
[13]Hasbi Ashshiddieqy. 1964. Problematika Hadits sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 7.
14H.M. Daud Ali. 1993. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 46.
15H.M. Tahir Azhary. 1992. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Madinah dan Masa Kini. Cetakan Pertama. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 48.
16Anwar Harjono. 1987. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Cetakan Kedua. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 105.
17Anwar Harjono. 1995. Ibid.; Mun’im A. Sirry. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar. Cetakan Pertama. Surabaya: Risalah Gusti, hlm. 30.; Lihat Harun Nasution. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Cetakan Kedua. Jakarta: UI Press, hlm. 72.; Dan M. Noor Matdawan. 1983. Lintasan Sejarah Pembentukan dan Pembinaan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bina Usaha, hlm. 14.; Lihat pula M. Idris Ramulyo. 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.115.
19M. Ali Hasan. 1996. Perbandingan Mazhab. Cetakan Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 9.
20H. Sulaiman Abdullah. 1995. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 9.
21Ahmad Hanafi. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 55.
22 Ibid.
23 Statria Effendi M. Zein. 1996. Usul Fikih. Diktat Kuliah Usul Fikih. Ciputat: Syarif Hidayatullah, hlm. 29.
24Ibid., hlm. 30.
25M. Ali Hasan. Op.cit., hlm. 17.
26St. Roestam. Dkk. 1992. Menelusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syariat Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Kalam Mulia, hlm 133.
27Ahmad Hanafi, Op.cit. hlm. 59.
28Ibid., hlm. 60.
29H.M. Duad Ali. Hukum Islam. Op.cit, hlm. 103.