Senin, 12 Oktober 2009

HUKUM ISLAM DAN SUMBER-SUMBERNYA

I. PENDAHULUAN

Fiqh Islam merupakan kumpulan hukum yang digali oleh para mujtahid dari dalil-dalil (sumber) syara’ yang rinci. Ditinjau dari segi sumbernya, maka hukum fiqh Islam itu dapat dibedakan:

1. Hukum-hukum yang bersumber pada nash-nash syara’ yang qathy (diyakini) baik dari segi periwayatannya (wurudnya) maupun dari segi dilalahnya (petunjuknya) kepada hukum. Hukum fiqh yang dalam bentuk ini bersifat pasti dan mengikat seluruh kaum muslimin untuk mengikutinya dan tidak boleh dipertikaikan lagi, seperti kewajiban shalat, puasa, haji, zakat, kewajiban menepati janji, persyaratan suka sama suka dalam jual beli. Dalam hubungan ini, Imam Syafi’i mengatakan dalam kitabnya Al Risalah: “apabila Allah sudah menetapkan hukum tertentu terhadap suatu peristiwa/kejadian, maka setiap muslim wajib mengikutinya”.

2. Hukum-hukum yang sumbernya berupa nash-nash yang zhonny dilalahnya kepada hukum, tetapi terdapat peluang berijtihad terbatas pada pemahaman nash, maka para mujtahid wajib berijtihad untuk mentarjihkan hukum yang ditunjuki oleh nash Hukum yang ditarjihkan mujtahid tersebut adalah hukum Allah terhadap peristiwa/kejadian bersangkutan menurut dugaan kuat (zhan)-nya dan dia wajib mengamalkan demikian pula orang yang meminta fatwa kepadanya. Pembuatan undang-undang menurut hukum yang tidak keluar dari batas nash yang zhonny dilalahnya itu dibolehkan. Oleh karena itu boleh saja hukum di suatu negara Islam menetapkan iddah dengan tiga kali suci sementara di negeri Islam yang lain menetapkannya tiga kali haid (menstruasi).

3. Hukum-hukum yang terdapat dalilnya dalam suatu nash syara’ baik qath’y maupun zhonny, akan tetapi terdapat pemikiran dan kesepakatan bersama para ulama mujtahid dalam menyimpulkan suatu masalah.

4. Hukum-hukum yang tidak ditunjuk oleh nash baik qath’y maupun zhonny serta tidak pula terdapat kesepakatan para mujtahid suatu masa. Inilah yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqh semua mazhab. Hukum-hukum dalam bentuk ini hanyalah merupakan hasil istinbath perorangan mujtahid bersangkutan, sesuai dengan daya capai akal pikirnya dan kondisi serta situasi yang melingkupinya. Oleh karenanya, bukanlah merupakan hukum yang pasti tentang kejadian/peristiwanya, sehingga siapa saja mujtahid lain baik yang semasa dengan mereka ataupun sesudahnya boleh saja mengadakan istinbath hukum yang distinbathkan mujtahid terdahulu kembali walaupun hasilnya berbeda, seperti halnya bisa terjadi perbedaan pendapat antara para mujtahid yang segenerasi dan senegeri, bahkan seorang mujtahid dapat pula mengubah ijtihadnya dengan ijtihad baur. Dengan demikian, pendapat seorang mujtahid tentang hukum sesuatu kejadian/peristiwa bukanlah merupakan hujjah yang mengikat kaum muslimin di manapun di dunia ini untuk mengikutinya. Namun demikian, hasil ijtihadnya mengikat dirinya sendiri untuk mengikutinya dan demikian juga orang-orang yang meminta fatwa kepadanya. Hujjah yang mengikat seluruh kaum muslimin adalah: Kitabullah, Sunnah Rasulullah yang Mutawatir dan kesepakatan bulat para mujtahid (S. Abdullah:1995:1-3).

II. HUKUM ISLAM

Dalam kepustakaan tentang Hukum Islam yang berbahasa Inggris, dikenal dua terminologi yaitu Islamic Law sebagai terjemahan dari Syariah dan Islamic Jurisprudence sebagai terjemahan dari Fikih (Fiqh).[1] Syariat adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya yang secara jelas terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.[2] Sedangkan fikih dapat diartikan sebagai hasil pemahaman para ahli Hukum Islam klasik terhadap syariat.[3]

Menurut Juhaya S. Praja, Fiqh secara harfiah berarti “memahami” atau “mengerti”. Berdasarkan pengertian etimologi inilah terminologi fiqh berarti memahami dan mengetahui wahyu Al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan penalaran akal dan metode tertentu sehingga diketahui ketentuan hukum perbuatan subjek hukum (mukallaf)[4] dengan dalil- dalilnya secara rinci.[5] Metode yang digunakan untuk mengetahui dan memahami ketentuan hukum itu terbentuk dalam suatu disiplin ilmu Hukum Islam tersendiri yang disebut Ushul Fiqh. Oleh karena itu perbedaan di bidang Fiqh yang seringkali disebut perbedaan furu’iyyah[6] yang dasarnya adalah perbedaan Ushul Fiqh yang merupakan landasan epistemologi Hukum Islam. Pada hakikatnya perbedaan aliran atau mazhab Hukum Islam adalah perbedaan Ushul Fiqh-nya.[7]

Dengan mengutip Muhammad Faruq Nabhan, Dede Rosyada menyatakan, dengan melihat pada subjek penetapan hukumnya para ulama membagi kepada tasyri samawi (Ilahy) dan tasyri wadh’i.[8] Yang dimaksud dengan tasyri samawi adalah penetapan hukum yang dilakukan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah sedangkan yang dimaksud dengan tasyri wadh’i adalah penentuan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid.

Sedangkan kata tasyri adalah bentuk masdar dari syara’ dengan siddah para huruf ra’ yang diambil dari kata syariat.[9]

Hasbi Ashshiddieqy menjelaskan tasyri yang berasal dari kata syariat pada asalnya bermakna jalan yang lempang atau jalan yang dilalui air terjun. Selanjutnya ia membagi Hukum Islam kepada tasyri ilahy yakni peraturan yang ditetapkan melalui Al-Qur’an dan Hadits dan tasyiri wadh’i yakni peraturan yang ditetapkan oleh para mujtahid dengan jalan mengistimbatkan dari tasyri ilahy.[10]

Sehubungan dengan hal ini Imam Muchlas mengatakan bahwa semua dalil itu hanya satu yaitu wahyu, sebab dalil akal harus bersandar kepada wahyu, karena akal tidak dapat berdiri sendiri.[11]

Hadits atau Sunnah sendiri dapat menjadi dalil syariat karena ditunjuk langsung oleh Al-Qur’an, sehingga hadits sendiripun tidaklah merupakan dalil yang berdiri sendiri, akhirnya dalil pokok itu kembali kepada Al-Qur’an. Hadits atau Sunnah sebagai dalil syariat ditunjuk sendiri oleh nash Al-Qur’an, di antaranya ialah:

1. QS. 59:7. Menyatakan: “Dan apa yang diberikan Rasul kepadanya, maka terimalah dia dan apa yang dilarang-Nya, maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah”

2. QS. 3:31. Menyatakan: “Katakanlah: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

3. QS. 3:32. Menyatakan: “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.[12]

Ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjuk hadits sebagai dalil syariat ialah tersebut dalam (QS. 16: 44); (QS. 7: 157); (QS 4: 59, 65, 80); (QS. 3: 31, 32, 132, 164); (QS. 24: 47, 48, 51, 52, 54, 62).[13]

Untuk mempermudah pemahaman mengenai perbedaan antara syariat dan fikih oleh H.M. Daud Ali perbedaan pokok antara keduanya adalah sebagai berikut:

1. Syariat, seperti telah dijelaskan di atas terdapat dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Kalau kita berbicara tentang Syariat yang dimaksud adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Kalau kita berbicara tentang fikih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat’ dan hasil pemahaman itu.

2. Syariat bersifat fundamental, dan mempunyai ruang lingkup yang luas, karena ke dalam oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak. Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut perbuatan hukum.

3. Syariat adalah ketetapan Allah dan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi, fikih adalah hasil karya manusia yang tidak berlaku abadi dan dapat berubah dari masa ke masa.

4. Syariat hanya satu, sedang fiqih mungkin lebih dari satu seperti terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab.

5. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragamannya.14

Sehubungan dengan hal ini pula M. Taher Azhary dalam bukunya Negara Hukum, memberikan rincian ringkas mengenai perbedaan syariat dan fikih. Syariat dan fikih adalah dua term yang berbeda, tetapi relasi keduanya sangat erat. Fikih tidak mungkin lahir tanpa adanya syariat. Dilihat secara kronologis, maka syariat lahir lebih dahulu dari fikih. Syariat ditentukan oleh Allah sedangkan fikih adalah hasil pemikiran manusia terhadap syariat. Secara umum syariat mengandung prinsip-prinsip dasar internal karena ia bersumber dari wahyu Allah yang memang demikian. Validitasnya tidak mungkin diubah, sebaliknya fikih sebagai hasil pemahaman manusia bersifat temporer, artinya mungkin saja ada hal-hal yang dapat ditinjau kembali sesuai dengan perkembangan budaya manusia, zaman dan kebutuhan. Fikih berisi rincian dari syariat, karena itu ia dapat disebut sebagai suatu elaborasi terhadap syariat. Elaborasi yang dengan menggunakan akal pikiran atau ra’yu.15

III. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Telah disepakati bahwa Hukum Islam ada tiga, yakni Al-Qur’an, As-Sunnah dan pendapat para mujtahid.

Menurut sejarah Hukum Islam penarikan garis hukum ini erat kaitannya dengan riwayat termasyhur tentang tanya jawab antara Nabi dengan Muazd bin Jabal, pada waktu akan berangkat ke empat jabatannya yang baru sebagai Gubernur/Hakim di Yaman.16

Tanya jawab itu berlangsung sebagai berikut:

“Tanya Nabi: “Dengan apa kamu menetapkan hukum?” Jawab Muazd: “Dengan kitab Allah”. Tanya Nabi lagi: “Kalau kamu tidak mendapatkannya di sana?” Jawab Muazd: “Dengan sunnah Rasulullah”. Tanya Nabi lagi: Kalau tidak juga kamu dapati di sana?” Saya berijtihad dengan mengambil keputusan sendiri. Maka nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kepada utusan Rasul-Nya untuk mendapatkan hal yang disukai oleh Allah dan Rasul-Nya”.17

Riwayat termasyur yang diakui keotentikannya oleh seluruh umat Islam ini menunjukkan dengan tegas penglihatan dan pandangan jauh dari Nabi akhir zaman. Karena dengan itu, kalian telah menjadikan Hukum Islam bersifat abadi sepanjang jaman. Selama manusia yang dianugerahi akal masih ada, maka Hukum Islam pun tentu akan masih tetap ada. Ia senantiasa sesuai dan dapat diterima akal sehat.

A. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad sebagai mu’jizat terbesar bagi beliau dan dapat dijadikan hujjah (argumentasi) untuk memperkuat kebenaran beliau sebagai Rasul Allah. Al-Qur’an itu juga merupakan undang-undang yang mengatur seluruh umat manusia, dan sebagai satu kegiatan ibadah bila kita membacanya.19

Nama bagi Al-Qur’an bermacam-macam dan masing-masing nama itu mengandung arti dan makna tertentu, antara lain:

1. Al Kitab, artinya buku atau tulisan. Arti ini untuk mengingatkan kaum muslimin supaya membukukannya menjadi buku.

2. Al-Qur’an, artinya bacaan. Arti ini untuk mengingatkan supaya ia dipelihara/dihapal bacaannya di luar kepala.

3. Al Furqan, artinya pemisah. Arti ini mengingatkan supaya dalam mencari garis pemisah antara kebenaran dan kebatilan, yang baik dan yang buruk haruslah daripadanya atau mempunyai rujukan padanya.

4. Al-Huda, artinya petunjuk. Artinya ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan kepadanya.

5. Al Zikr, artinya ingat, arti ini menunjukkan bahwa ia berisikan peringatan dan agar selalu diingat tuntutan dalam melakukannya setiap tindakan.20

Susunan Al-Qur’an yang sekarang tidak mencerminkan urut-urutan waktu turunnya, sebab ayat yang diturunkan pertama kali ialah Surat Al-Alaq yang terletak diakhir-akhir juz ke-30, sedangkan ayat terakhir yang diturunkan ialah 3 dari surat Al-Maidah yang terletak dalam juz yang ke tujuh.21

Al-Qur’an terdiri dari 114 surat dengan jumlah ayat 6342. Keseluruhan waktu turunnya adalah 22 tahun 2 bulan 22 hari dan terbagi dalam dua fase, yaitu fase selama rasul berada di Mekkah, kurang lebih 12 tahun 2 bulan 22 hari dan fase selama ia berada di Madinah, kurang lebih 10 tahun. Ayat-ayat yang turun di Mekkah, pendek-pendek dan berisi soal-soal keimanan, sedang ayat-ayat yang turun di Madinah banyak berisi hukum-hukum dan tata aturan kemasyarakatan. Oleh karena itu kebanyakan ayatnya panjang-panjang sesuai dengan tabiat kata-kata pada perundang-undangan.22

Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup mengandung tiga hal pokok:

1. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan aqidah (keimanan) yang membicarakan tentang hal-hal yang wajib diyakini, seperti masalah tauhid, masalah kenabian, mengenai kitab-Nya, malaikat, hari kemudian dan sebagainya berhubungan dengan doktrin akidah.

2. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukallaf berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa kepada kehinaan (doktrin akhlak).

3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf (doktrin syariat). Dari hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan berkembangnya ilmu fiqh. Hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an terdiri dari dua cabang, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hukum-hukum mu’amalat yang mengatur hubungan dengan secara manusia.23

Mengutip Abd Wahab Khallaf selanjutnya Satria Effendi M. Zein merinci hukum-hukum bidang muamalah sebagai berikut:

a. Hukum Keluarga, mulai dari terbentuknya pernikahan, sampai ke masalah talak, rujuk, iddah, kewarisan. Ayat-ayat yang mengatur masalah ini tercatat sekitar 70 ayat.

b. Hukum Mu’amalah (Perdata), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan seseorang dengan yang sejenisnya, seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, syirkah (kongsi dagang), utang piutang, dan hukum perjanjian. Hukum-hukum jenis ini mengatur hubungan perorangan, masyarakat, hal-hal yang berhubungan dengan harta kekayaan serta memelihara hak dan kewajiban masing-masing. Ayat-ayat yang mengatur hal ini terdiri dari 70 ayat.

c. Hukum Jinayat (Hukum Pidana), yaitu hukum-hukum yang menyangkut dengan tindakan kejahatan. Hukum-hukum seperti ini bermaksud untuk memelihara stabilitas masyarakat, seperti larangan membunuh serta sangsinya, larangan menganiaya orang lain, larangan berzina, larangan mencuri, larangan merampok serta ancaman hukuman atas pelakunya. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 30 ayat.

d. Hukum al-Murafa’at (Acara), yaitu hukum-hukum yang menyangkut dengan peradilan, kesaksian dan sumpah. Hukum-hukum seperti ini dimaksudkan agar putusan hakim dapat seobjektif mungkin, dan untuk itu diatur hal-hal yang memungkinkan untuk menyingkap mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 13 ayat.

e. Hukum Ketatanegaraan, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan. Hukum-hukum seperti ini dimaksudkan untuk mengatur penguasa dengan rakyat, dan mengatur hak-hak pribadi dan masyarakat. Ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah ini sekitar 10 ayat.

f. Hukum Antar-Bangsa (Internasional), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan non-Islam dan cara pergaulan dengan non-muslim yang berada di negara Islam. Ayat-ayat mengatur hal ini sekitar 25 ayat.

g) Hukum Ekonomi dan Keluarga, yaitu hukum-hukum yang mengatur hak fakir miskin dari harga orang-orang kaya.

Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan keuangan antara orang yang berpunya dengan orang yang tidak berpunya, dan antara negara dengan perorangan. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 10 ayat.24

B. Al-Sunnah

Al-Sunnah ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah, baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan).25 As-Sunnah bagi Muhatditsin (ulama hadits) misalnya apa saja yang dikutip dari Rasulullah, berupa perkataan, perbuatan taqrir, perangai atau perilaku beliau. Apakah itu terjadi sebelum beliau diutus menjadi Rasul maupun setelahnya, sehingga As-Sunnah dengan makna ini serupa dengan hadits Nabawi. Namun jika dilihat lebih khusus lagi, yang dimaksud Al Hadits adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya sesudah nubuwah. Selain hadits Nabawi, yaitu lafal dan maknanya dari Nabi, ada pula hadits Qudsy yaitu hadits yang maknanya dari Allah, lafalnya dari Nabi.26

Ulama-ulama hadits mengadakan penggolongan terhadap hadits berdasarkan cara pemberitaannya. Kalau sesuatu hadits diriwayatkan dari Nabi SAW oleh banyak orang yang menurut kebiasaan tidak mungkin berbuat dusta, kemudian diterima oleh orang banyak, maka hadits tersebut disebut “Hadits Mutawir”. Kalau hanya diriwayatkan oleh perseorangan dari Nabi SAW, kemudian pada masa berikut diriwayatkan oleh orang banyak maka hadits tersebut disebut “Hadits Masyhur”, sampai seterusnya kalau hanya diriwayatkan oleh orang perseorangan, maka disebut “Hadits Ahad”.27

Kemudian dilihat dari segi keadaan diri si perawi, seperti ketelitian, ingatan dan kejujuran dalam meriwayatkan hadits, maka hadits Ahad dapat dinilai kepada hadits Shahih, Hasan dan Dhaif.

Penggolongan-penggolongan tersebut mempunyai akibat dalam bidang penetapan hukum. Hadits Mutawir pasti menimbulkan keyakinan tentang kebenaran isinya dan harus dipakai. Hadits Masyhur menimbulkan dugaan yang lebih kuat tentang kebenaran isinya dan mengharuskan kita memakainya pula. Hadits Ahad yang Shahih menimbulkan dugaan yang kuat tentang kebenaran isinya yang diriwayatkan dari Rasul dan mengharuskan kita memakainya. Mengenai hadits Ahad yang tidak mempunyai dugaan kuat pada umumnya untuk lapangan penetapan hukum tidak diperpegangi.28

C. Al Ra’yu (Akal Pikiran/Ijtihad)

Secara harfiah ra’yu berarti pendapat dan pertimbangan. Seseorang yang memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana disebut orang yang mempunyai ra’yu.29 Al-Qur’an sendiri berulang-ulang mengajar manusia untuk menggunakan akal pikiran dalam merenungkan ayat-ayatnya.

Dasar hukum penggunaan akal pikiran ini dalam pengembangan hukum Islam itu adalah (1) Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59, (2) Hadits Muazd bin Jabal yang menjelaskan bahwa Muazd sebagai penguasa (ulil amri) di Yaman dibenarkan oleh Nabi untuk berijtihad, (3) Contoh-contoh yang diberikan ulil amri yang lain seperti Umar bin Khattab beberapa tahun setelah Nabi wafat dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul dan berkembang dalam masyarakat pada awal perkembangan Islam.

Ayat dan hadits hukum yang qath’i sifatnya baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang ada dalam kitab-kitab hadits, bukanlah menjadi lapangan atau objek ijtihad yang sudah jelas teks atau nashnya, seperti bagian terdahulu untuk orang tertentu dalam keadaan dalam hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an, adalah qath’i sifatnya. Nash atau teks yang zhanni sifatnya merupakan objek ijtihad, untuk mendapatkan artinya yang paling tepat dalam konteks tertentu.

IV. PENUTUP

Dari uraian di atas memperlihatkan bahwa umat Islam mewarisi dua hal penting, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber sebagai sumber ajaran. Dan sejarah dinamika kajian hukum Islam yang telah dilakukan para ulama terdahulu beserta perangkat produk-produk pemikirannya dan teori-teori kajian hukum mereka.

Sejarah ini memperlihatkan bahwa proses penerapan ajaran Islam itu, perlu analisis nalar kaum terdidik karena doktrin-doktrin Al-Qur’an dan As-Sunnah itu bersifat konstan dan tidak mengalami perubahan setelah habisnya masa risalah Muhammad, sementara dinamika sosial telah melahirkan perubahan-perubahan besar dalam tata kehidupan umat Islam sendiri.

Proses aplikasi ajaran-ajaran Islam terhadap fenomena sosial yang senantiasa berubah inilah yang menuntut dilakukannya kajian-kajian ijtihad.

DAFTAR PUSTAKA


Azhary, M. Tahir. 1994. “Hukum Islam dalam Era Pasca Modernisme”. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sukardja, Ahmad. 1995. Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk. Cetakan Pertama. Jakarta: UI Press.

------------------------. 1994. “Al-Qur’an dan Tiga Kategori Hukum dalam Islam”. dalam Mimbar Hukum, No. 14 Tahun V.

Praja, Juhaya S 1994. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya. Cetakan Kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Praja, Juhaya S. 1994. Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktik. Cetakan Kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rosyada, Dede. 1996. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Cetakan Keempat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Junaedi, Dedi. (trans). M. Ali As-Sayis. 1996. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Akademika Pressindo.

Ashshiddieqy, Hasbi. 1967. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Mulia.

Muchlas, Imam. 1996. Waris Mewaris dalam Islam (Studi Kasus). Cetakan Pertama. Pasuruan: Garuda.

Ashshiddieqy, Hasbi. 1964. Problematika Hadits sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Ali, M. Daud. 1993. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Azhary, M. Tahir. 1992. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Madinah dan Masa Kini. Cetakan Pertama. Jakarta: Bulan Bintang.

Harjono, Anwar. 1987. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Cetakan Kedua. Jakarta: Bulan Bintang.

Harjono, Anwar. 1995. Ibid.; Mun’im A. Sirry. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar. Cetakan Pertama. Surabaya: Risalah Gusti.

Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Cetakan Kedua. Jakarta: UI Press.

Matdawan, M. Noor. 1983. Lintasan Sejarah Pembentukan dan Pembinaan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bina Usaha.

Ramulyo, M. Idris. 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.

Hasan, M. Ali. 1996. Perbandingan Mazhab. Cetakan Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.

Hanafi, Ahmad. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Bulan Bintang.

Zein, Statria Effendi M. 1996. Usul Fikih. Diktat Kuliah Usul Fikih. Ciputat : Syarif Hidayatullah.

Roestam, St. Dkk. 1992. Menelusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syariat Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Kalam Mulia.



[1]H.M. Tahir Azhary. 1994. “Hukum Islam dalam Era Pasca Modernisme”. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 10.

[2]Ahmad Sukardja. 1995. Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk. Cetakan Pertama. Jakarta: UI Press, hlm 10. Lihat pula dalam tulisannya “Al-Qur’an dan Tiga Kategori Hukum dalam Islam”. dalam Mimbar Hukum, No. 14 Tahun V, 1994, hlm. 84.

[3]H.M. Tahir Azhary. Lo.cit.

[4]Mukallaf artinya yang sudah dibebani hukum dan dapat bertanggung jawab atas tindakannya, yakni orang-orang yang sudah sampai umur (baliqh) dan berakal. Maksud syara’ menetapkan manusia di bawah beban taklif adalah untuk mengeluarkan manusia dari tekanan hawa nafsu dengan keharusan tunduk di bawah perintah syara’ agar terpelihara diri masyarakat dan lingkungan yang meliputi: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

[5]Juhaya S. Praja. 1994. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya. Cetakan Kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. v.

[6]Furu’iyyah berarti cabang-cabang, bentuk jamak dari al-far’ untuk membedakannya dengan masalah yang berkenaan dengan pokok beragama yang disebut Ushuluddin atau ilmu kalam (teologi).

[7]Juhaya S. Praja. 1994. Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktik. Cetakan Kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm v.

[8]Dede Rosyada. 1996. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Cetakan Keempat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 2.

[9]Dedi Junaedi. (trans). M. Ali As-Sayis. 1996. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Akademika Pressindo, hlm. 1.

[10]Hasbi Ashshiddieqy. 1967. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Mulia, hlm 13.

[11]Imam Muchlas. 1996. Waris Mewaris dalam Islam (Studi Kasus). Cetakan Pertama. Pasuruan: Garuda, hlm. 13.

[12]Ibid., hlm. 14.

[13]Hasbi Ashshiddieqy. 1964. Problematika Hadits sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 7.

14H.M. Daud Ali. 1993. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 46.

15H.M. Tahir Azhary. 1992. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Madinah dan Masa Kini. Cetakan Pertama. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 48.

16Anwar Harjono. 1987. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Cetakan Kedua. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 105.

17Anwar Harjono. 1995. Ibid.; Mun’im A. Sirry. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar. Cetakan Pertama. Surabaya: Risalah Gusti, hlm. 30.; Lihat Harun Nasution. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Cetakan Kedua. Jakarta: UI Press, hlm. 72.; Dan M. Noor Matdawan. 1983. Lintasan Sejarah Pembentukan dan Pembinaan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bina Usaha, hlm. 14.; Lihat pula M. Idris Ramulyo. 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.115.

19M. Ali Hasan. 1996. Perbandingan Mazhab. Cetakan Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 9.

20H. Sulaiman Abdullah. 1995. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 9.

21Ahmad Hanafi. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 55.

22 Ibid.

23 Statria Effendi M. Zein. 1996. Usul Fikih. Diktat Kuliah Usul Fikih. Ciputat: Syarif Hidayatullah, hlm. 29.

24Ibid., hlm. 30.

25M. Ali Hasan. Op.cit., hlm. 17.

26St. Roestam. Dkk. 1992. Menelusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syariat Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Kalam Mulia, hlm 133.

27Ahmad Hanafi, Op.cit. hlm. 59.

28Ibid., hlm. 60.

29H.M. Duad Ali. Hukum Islam. Op.cit, hlm. 103.

PERAN AKAL DALAM MEMBENTUK HUKUM (STUDI KOMPARATIF TERHADAP PEMIKIRAN ST. THOMAS AQUINAS DENGAN ISLAM)


I. PENDAHULUAN

Pemikiran tentang hukum kodrat atau hukum alam telah lama dilakukan, bahkan telah dimulai sebelum Aristoteles, akan tetapi dalam abad 7, Isodorus dan Uskup Sivella mengeluarkan tulisan yang berbunyi “Elymologime of origins” di dalamnya terdapat artes liberals, ilmu kedokteran, ilmu teologi, ilmu psikologi, dan hukum dengan singkat semacam encyclopaedie. Selain membagi hukum dalam tiga macam, yakni ius civile, ius gentium, dan ius naturale, Isodorus juga mengenalkan hukum ketuhanan yang terjadi “menurut kodrat” dan hukum manusia yang terjadi karena kebiasaan.[1]

Dalam sejarah pemikiran hukum, pemikiran tentang hukum kodrat erat kaitannya dengan kaum Stoa, Socrates, Plato dan Aristoteles. Menurut Bodenheimer, pemikiran tentang hukum alam, terutama dikembangkan oleh aliran Stoic yang didirikan oleh Zeno.[2] Konsep tentang kealaman merupakan pusat perhatian aliran ini. Yang dimaksud dengan “alam” ini adalah prinsip yang meresapi seluruh alam semesta, yang mereka kenali dalam bentuk “akal”. Akal yang meresapi seluruh alam semesta ini pulalah yang oleh aliran Stoic dianggap sebagai dasar hukum dan keadilan.[3] Bagi kaum Stoa, pandangannya timbul dari anggapan bahwa seluruh dunia dan segala kejadian di dunia dituntun dan ditentukan oleh hukum abadi, ia adalah rasio ketuhanan yang meliputi seluruh alam. Dari hukum dunia yang abadi, timbullah hukum kodrat kesusilaan yang mengandung peraturan untuk tindakan manusia, kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah-kiadah yuridis. Pada prinsipnya, hidup menurut kodrat berarti hidup sesuai dengan alam yang umum dan hidup sesuai dengan alam manusia sendiri. Apabila hal ini tidak dilaksanakan berarti manusia telah memenuhi kewajiban yang luhur, apabila ia mengikuti pimpinan akalnya yang juga merupakan sebagian dari rasio dunia ketuhanan.

Pada zaman Romawi kuno, seorang ahli hukum dan negarawan Romawi yang ternama, yakni Cicero yang sangat dipengaruhi oleh aliran Stoic ini, telah menyamakan “alam” dengan “akal” seperti yang dinyatakannya bahwa hukum yang sesungguhnya adalah akal yang benar yang sesuai dengan alam; agar ia bisa diterapkan di manapun, tidak berubah dan abadi; ia menuntut kewajiban melalui perintah-perintahnya dan mencegah perbuatan yang salah melalui larangan-larangannya. Dan perintah-perintah serta larangan-larangan tidaklah akan sia-sia saja jika ditujukan kepada orang-orang yang baik-baik, sekalipun kepada orang yang sesat ia tidak mempunyai pengaruh. Adalah suatu dosa untuk mengubah hukum ini, juga tidak dibolehkan untuk mencabut sebagian daripadanya, dan adalah tidak mungkin akan ada hukum yang berbeda-beda untuk Roma serta Athena, atau hukum yang berbeda sekarang dan yang akan datang, melainkan hanya ada satu hukum yang abadi dan tidak akan berubah, yang berlaku untuk semua bangsa dan setiap saat dan hanya akan ada satu penguasa, yaitu Tuhan, atas kita sekalian, oleh ialah pembuat hukum itu, ia yang mengumumkannya dan ia pula yang menghakimi.[4]

Sekalipun hukum alam suatu konsep yang mencakup banyak teori di dalamnya, namun ia mudah dikenali dikarenakan ia merupakan usaha menusia untuk menemukan hukum dan keadilan ideal.[5] Dan salah satu puncak perkembangan hukum alam alam adalah pada abad 12 hingga abad 14, dimana pengaruh agama Kristen masuk dalam konsepsi hukum alam. Hal ini dikarenakan para pemuka gereja telah mulai memasukkan kepercayaan Kristen kepada akal, sebagai hukum tertinggi di seluruh alam semesta.

Hubungan antara hukum alam dengan agama Kristen ini bisa tergambar dari penjelasan W. Friedmann yang menyatakan bahwa :

Decretum gratianum dari abad 12 memulai perubahan dalam pemikiran hukum alam. Hukum alam saat ini diagungkan melebihi identifikasi dengan akalnya. Hal tersebut menjadi bagian dari hukum Tuhan. Dengan demikian hukum alam tidak dapat diubah dan berlaku di atas adat kebiasaan dan tiap hukum positif. Ini mengandung arti bahwa gereja merupakan eksponen otentik dari hukum alam, jadi berdampingan dengan ketentuan-ketentuan di dalam Injil.”[6]

Dominannya posisi gereja sebagai penafsir otentik agama Kristen pada masa itu, salah satu pemikir politik dan hukum yang membenarkan otoritas gereja adalah St. Thomas Aquinas, dimana salah pemikirannya adalah menjadikan akal sebagai landasan yang menentukan benar tidaknya suatu hukum. Bahwa setiap hal yang dianggap baik oleh akal manusia, maka tindakan tersebut berarti baik dan sesuai dengan hukum Tuhan. Sebaliknya setiap hal yang dianggap buruk oleh akal, maka perbuatan atau tindakan tersebut berarti buruk dan bertentangan dengan hukum Tuhan. Oleh karenanya dalam tulisan ini yang menjadi pokok pembahasan adalah apakah setiap hal yang dianggap baik oleh akal manusia, maka tindakan tersebut berarti baik dan sesuai dengan hukum Tuhan. Sebaliknya setiap hal yang dianggap buruk oleh akal, maka perbuatan atau tindakan tersebut berarti buruk dan bertentangan dengan hukum Tuhan ?

II. TEORI ST. THOMAS AQUINAS (1225-1274 M)

Aquinas adalah seorang filosof terbesar dari aliran scholastic di abad pertengahan. Ide-ide yang dibawa oleh St Thomas Aquinas (terkadang disebut sebagai aliran Thomisme – yang dilafalkan toamisme), membentuk basis aspek pokok metode pengajaran di gereja Katolik Roma untuk kurun waktu lebih dari tujuh abad. Ada empat model hukum Aquinas, yaitu masing-masing hukum eternal, divine, natural, dan human.[7]

Aquinas menjelaskan konsep hukum eternal sebagai “a dictate of practical reason coming from a person who has the charge of a perfect community” (sebuah petunjuk praktis yang datang dari seseorang yang memiliki pengaruh dari sebuah komunitas yang diakui). Kemudian Aquinas lebih lanjut menjelaskan bahwa “if follows that the whole universe is governed by divine reason, which is beyond time, and therefore is the source of that law which may properly be called eternal” (jika hal ini diikuti oleh pernyataan bahwa seluruh alam semesta ini diatur oleh Tuhan, yang tidak terikat waktu, yang kemudian disebut sebagai hukum Tuhan).[8]

Lebih lanjut Mc. Leod menjelaskan secara singkat empat model hukum yang diungkapkan oleh Aquinas bahwa:

“Aquinas menjelaskan konsep hukum eternal sebagai “sebuah petunjuk praktis yang datang dari seseorang yang memiliki pengaruh dari sebuah komunitas yang diakui”. Hal ini diikuti oleh pernyataan bahwa seluruh alam semesta ini diatur oleh Zat yang Maha Kuasa yang kemudian disebut sebagai hukum divine.

Sementara untuk penjelasan apa yang dimaksud hukum natural, Aquinas menyatakan bahwa setiap subyek, misalnya manusia turut berperan serta secara penuh dibanding anggota yang lain, karena “setiap orang memiliki kecenderungan untuk menentukan sebuah titik terlacak secara tepat”.

Perbedaan penting sifatnya krusial atau teramat penting adalah bahwa hanya Tuhan yang tahu tentang bahwa “partisipasi hukum natural tidaklah jauh berbeda dari hukum eternal baik untuk manusia maupun ciptaan lain sehingga dapat diartikan bahwa setiap orang paham tentang hukum natural”.

Ringkasnya, Aquinas tidak hanya melanjutkan tradisi masa sebelum agama Kristen yang menetapkan hukum natural sebagai sesuatu yang bisa dipelajari manusia, tapi menegaskan kembali tentang apa yang pernah disampaikan Augustine ke dalam tradisi Katolik Roma dengan memadukan unsur hukum dengan metode penggunaan media yang bisa dipelajari bersama dalam konteks ilmu agama Kristen. Dalam hal ini, ia secara sadar telah menempatkan gereja di posisi yang unik namun berpengaruh.

Ketiga, adalah apa yang disebut dengan hukum human, yang pada mulanya juga mengambil acuan pada realitas hukum alam. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa manusia yang diarahkan pada “sesuatu yang lain akan membuat sesuatu yang lain itu terlihat lebih spesifik dan jelas” walaupun pada hakikatnya hukum karya manusia hanya “mengobservasi kondisi-kondisi yang mungkin berkaitan dengan hukum itu sendiri”. Secara lebih khusus, hukum seperti ini bernilai penting karena, sebagaimana yang dikatakan Aristoteles dalam bukunya Politics, kekuatan yang dipunyai manusia itu adalah cerminan bahwa manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dari binatang yang lain.

Aquinas pada akhirnya mengaitkan permasalahan tersebut dengan hukum divine, walaupun dalam beberapa cara penerapannya kategori ini secara hirarki terbolak-balik. Namun, ia berhasil mengembangkan topik tersebut menjadi empat sub pembahasan.

Pertama, orang akan digiring dan tunduk pada aturan hukum.

Kedua, fakta mengatakan bahwa keadilan yang diciptakan manusia kadarnya beragam yang secara tak langsung mengatakan bahwa hukum manusia itu sendiri juga beragam tingkatannya.

Ketiga, hukum manusia itu dibatasi oleh hal-hal yang hanya mampu ditangkap pancaindera dan alam pemikiran manusia. Karena, di luar tersebut sudah merupakan wilayah kewenangan hukum Tuhan.

Keempat, menurut Augustine, manusia tidak bisa menguasai secara keseluruhan. Apalagi sebagai manusia ada kecenderungan untuk takut melakukan sesuatu yang tidak senonoh atau perbuatan dosa.

Pada pertanyaan tentang validitas hukum buatan manusia, Aquinas mengatakan bahwa “hukum yang tidak adil sama dengan bukan hukum’ dan mempertegas pernyataan tersebut dengan dua konsekuensinya. Pertama, adanya semacam potensi ketidaksetujuan dengan….aturan-aturan yang ditetapkan. Kedua, kekuatan hukum terletak pada seberapa adil pelaksanaannya”.

Aquinas membuat sebuah perumpamaan ini dengan adanya dorongan untuk memberlakukan suatu peraturan bahwa orang tidak boleh membunuh orang lain, tidak ada upaya saling menyakiti satu sama lain, namun yang terjadi memang di luar kemampuan, karena yang berlaku adalah hukum alam.

Untuk permasalahan kewajiban mentaati hukum yang dibuat oleh manusia, Aquinas menggambarkannya dalam dua situasi yang berbeda. Pertama, hukum adalah sesuatu yang sangat bertolak belakang dari apa yang dikehendaki manusia. Dalam hal ini mungkin saja hukum hanya bermanfaat bagi yang terlibat dalam pembuatannya saja, bukan komunitas masyarakat yang lebih luas; atau bisa juga memberikan manfaat bagi suatu komunitas, namun tidak sebesar bagi para pihak legislatif, atau hukum yang dibuat mempersulit langkah para anggota komunitas dalam bertindak.

Kedua, hukum bisa bertolak dengan ketetapan-ketetapan hukum divine. Aquinas memberikan satu contoh tentang adanya perintah dari seorang penguasa untuk menyembah dan mengagung-agungkan dirinya.”[9]

Sekalipun Aquinas menerima pengaruh dari Aristoteles, tetapi pemikiran yang dikembangkannya dilandasi dengan dogma agama kristen, sehingga merupakan suatu sistem pemikiran tersendiri. Dalam konsep hukum alam, sebagaimana yang terlihat dari pernyataannya, Aquinas berpendapat bahwa hukum adalah suatu peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya dan mengundangkannya.[10] Bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu “undang-undang abadi” (lex ecterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya. Aquinas berpendapat bahwa terdapat asas umum/pokok yang memiliki kekuatan yang mutlak, tidak mengenal kekecualian, sebab ia universal.[11]

Hal ini sedikit berbeda dengan konsep Aritoteles dan Hugo de Groot tentang hukum alam. Walaupun ketiga orang tersebut sama-sama sebagai para tokoh mazhab hukum alam, namun Aristoteles berpendapat hukum yang diperoleh orang-orang berpikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan hukum kodrat. Sedangkan Hugo de Groot menyatakan bahwa hukum adalah pertimbangan pikiran yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar.[12]

Aquinas juga berpendapat bahwa seluruh dunia dikuasai oleh hukum yang abadi (lex ecterna) dalam mana segala undang-undang lainnya menemukan dasar dan alasan kekuatan mengikatnya. Hukum abadi itu tidak lain daripada rasio ketuhanan yang mengatur segala yang diciptakan, sesuai dengan kodratnya.[13]

Lex ecterna adalah kehendak dan pikiran Tuhan yang menciptakan dunia ini. Manusia dikaruniai Tuhan dengan kemampuan berpikir dan kecakapan untuk membedakan baik dan buruk, serta mengenal berbagai peraturan perundang-undangan yang langsung berasal dari “undang-undang abadi” itu, dan yang oleh Aquinas dinamakan “hukum alam” (lex naturalis).

Hukum alam tersebut hanyalah memuat asas-asas umum seperti misalnya:

a. Berbuat baik dan jauhilah kejahatan;

b. Bertindak menurut pikiran yang sehat;

c. Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri.[14]

Menurut Aquinas, asas-asas pokok tersebut mempunyai kekuatan yang mutlak, tidak mengenal kekecualian, berlaku di mana-mana dan tetap tidak berubah sepanjang jaman.[15]

Diantara konsep hukum yang dibuat oleh Aquinas adalah konsep hukum lex eternal. Dengan mengutip tulisan Bodenheimer, Satjipto Rahardjo menyebutkan bahwa :

lex aeterna[16] adalah rencana pemerintahan sebagaimana dibuat oleh Sang Raja Diraja. Ia adalah akal keilahian yang menuntun semua gerakan dan tindakan dalam alam semesta. Tetapi tidak ada manusia yang mampu untuk menangkap lex aeterna dalam keseluruhannya. Orang hanya bisa menangkap sebagian daripadanya melalui akal pikiran yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya. Bagian yang bisa ditangkap ini disebut sebagai lex naturalis. Lex naturalis ini memberikan pengarahan kepada kegiatan manusia melalui petunjuk-petunjuk umum. Petunjuk yang paling dasar adalah, bahwa apa yang baik harus dilakukan, sedang yang buruk dihindari. Mengenai apa yang disebut sebagai baik, Aquinas mengaitkannya kepada apa yang merupakan kecenderungan alamiah pada manusia. Pertama, adalah insting manusia yang alamiah untuk mempertahankan hidupnya. Kedua, daya tarik antara kedua jenis kelamin dan hasrat untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Ketiga, manusia mempunyai hasrat alamiah untuk mengenal Tuhan dan kecenderungan untuk menolak ketidaktahuan. Empat, manusia ingin hidup dalam masyarakat dan oleh karena itu adalah suatu hal yang alamiah pada manusia untuk menghindari perbuatan yang merugikan orang-orang yang hidup bersamanya.”[17]

Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa Aquinas dengan tegas menolak penyamaan hukum alam dengan hukum abadi yang dibuat oleh kanonis abad pertengahan. Ia mendefinisikan hukum alam sebagai bagian dari hukum abadi yang difahami oleh akal manusia.[18] Bagi manusia, hukum alam mempunyai signifikansi yang berbeda dengan makhluk lainnya. Makhluk non-rasional diatur oleh hukum-hukum fisik alam dalam kenyataan yang pasti dan tidak berubah di mana setiap obyek alam berjalan tanpa mempunyai pemahaman. Makhluk rasional tunduk pada hukum abadi dengan cara yang berbeda, sehingga mereka, tidak sebagaimana makhluk lain, bertindak persisinya karena mempunyai pengetahuan akan tujuannya. Jadi “segala sesuatu yang dengan kodrat manusia difahami oleh akal sebagai hal yang baik menjadi obyek tindakan, dan kebalikannya dianggap jahat, dan menjadi obyek yang dijauhi”.[19]

Dari uraian di atas, sekalipun Aquinas tidak secara langsung menyatakan bahwa setiap hal yang dianggap baik oleh akal manusia, maka tindakan tersebut berarti baik dan sesuai dengan hukum Tuhan. Sebaliknya setiap hal yang dianggap buruk oleh akal manusia, maka perbuatan atau tindakan tersebut berarti buruk dan bertentangan dengan hukum Tuhan. Namun secara tersirat dapat disimpulkan bahwa setiap hal yang dianggap baik oleh akal manusia, maka tindakan tersebut berarti baik dan sesuai dengan hukum Tuhan. Demikian pula sebaliknya.

III. PERAN AKAL DALAM MEMBENTUK HUKUM MENURUT ISLAM

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa menurut Aquinas akal manusia itu mampu mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan, bahkan akal tersebut dijadikan sebagai penentu baik atau buruknya suatu perbuatan. Apabila menurut akal manusia bahwa perbuatan itu baik, maka itu adalah baik, yang sesuai dengan hukum alam. Sebaliknya jika menurut akal manusia itu buruk, maka itu adalah perbuatan yang buruk dan tidak sesuai dengan hukum alam. Dan dikarenakan hukum alam merupakan bagian dari hukum abadi (lex eternal) [20], maka baik atau buruknya suatu perbuatan menurut akal manusia, maka demikian pula menurut lex eternal. Dengan demikian secara tidak langsung dapat dinyatakan bahwa setiap hal yang diputuskan oleh akal manusia, pada hakekatnya adalah sesuai dengan lex eternal.

Pandangan Aquinas yang menjadikan akal manusia sebagai penentu benar – salah, atau baik – buruknya suatu perbuatan, jika dibandingkan dengan Islam, maka akan terlihat banyak perbedaan, diantaranya :

Pertama, dalam pandangan Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, Tuhan yang menciptakan manusia, bukan manusia. Di antara umat Islam tidak ada perselisihan b ahwa sumber hukum syara bagi semua perbuatan mukallaf adalah Allah SWT, baik hukum mengenai perbuatan mukallaf itu telah Dia jelaskan secara langsung dalam beberapa nash yang telah Dia wahyukan kepada Rasul-Nya, atupun Dia memberi petunjuk para mujtahid untuk mengetahui hukum mengenai perbuatan mukallaf dengan perantaraan dalil-dalil dan tanda-tanda yang telah disyariatkan untuk mengistimbathkan hukumnya.[21] Sebagaimana firman Allah SWT: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al An’am : 57). Juga firman-Nya: “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS. Al Maidah: 48). Dari dalil-dalil tersebut kemudian dimunculkan kaidah ushul yang terkenal, yakni “La hukma illa lillah” (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).[22] Manusia tidak berhak untuk membuat hukum, bahkan salah satu tugas utama manusia di muka bumi ini adalah menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Manusia harus tunduk, patuh dan taat terhadap segala keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, baik dalam kehidupan pribadi seperti ibadah dan akhlak, maupun dalam kehidupan bernegara seperti menjatuhkan hukum (pidana atau perdata), serta memberi keputusan atau kebijakan terhadap masalah ekonomi, politik, pemerintahan, militer dan sebagainya, semuanya harus berdasarkan dan sesuai dengan aturan-aturan Allah SWT. Bagi mereka yang melanggar aturan-aturan-Nya, Allah SWT mencap mereka sebagai orang yang kafir, zalim, dan fasik,[23] di mana mereka diancam dengan siksa dan azab yang sangat pedih di hari kiamat.

Kedua, dalam pandangan Islam seluruh perbuatan manusia, dan seluruh benda-benda yang digunakannya dan/atau berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah Saw dan terikat dengan hukum-hukum risalah beliau. Keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah tersebut wajib hukumnya merujuk kepada syara dan terikat dengan hukum-hukum syara. Allah SWT : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya untukmu, maka tinggalkanlah (QS. Hasyr : 7). “Maka demi Tuhanmu (hai Muhammad), mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An Nisaa : 65). “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah)” (QS. As Syuura : 10). “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya” (QS. An Nisaa : 59).[24] Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa pada dasarnya wajib hukumnya mengikuti syara dan terikat dengannya dalam hal perbuatan manusia maupun benda-benda yang digunakannya. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kecualai setelah mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu, apakah hukumnya wajib atau mandub sehingga dia dapat melakukan perbuatan itu; ataukah hukumnya haram atau makruh sehingga dia harus meninggalkannya, ataukah mubah sehingga dia berhak memilih untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya. Atas dasar inilah, maka untuk perbuatan manusia berlaku kaidah bahwa hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah.[25]

Ketiga, adalah suatu kenyataan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan. Manusia tidak mampu menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Kekuatan akalnya adalah terbatas, sekalipun ia meningkat dan bertambah, namun ia (akal) akan sampai pada satu titik yang tidak mungkin untuk dilampauinya.[26] Selain itu penilaian seseorang terhadap suatu perbuatan yang didasarkan pada pemikirannya sering berbeda dengan orang lain. Kadangkala apa yang dianggap baik oleh A, namun oleh B hal itu bisa dianggap buruk. Bahkan, setiap manusia pada dasarnya tidak mengetahui secara meyakinkan akan hakikat dirinya sendiri. Dia tidak mengetahui mana yang baik dan buruk secara meyakinkan, juga tidak mengetahui kemaslahatan apa yang terbaik untuk dirinya, bahkan dia juga tidak mengetahui secara meyakinkan mana yang benar dan mana yang salah. Justru kebanyakan manusia adalah termasuk orang yang paling banyak berpaling dan menolak kebenaran, sebagaimana firman Allah SWT: “kebanyakan mereka membenci kebenaran” (QS. Al Mu’minun: 70), juga dalam ayat yang lain disebutkan : “Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui kebenaran sehingga mereka berpaling” (QS. Al Anbiya: 24). Oleh karenanya jika penentuan baik – buruknya suatu perbuatan diserahkan kepada akal manusia, maka akan terjadi kekacauan dan ketidakkonsistenan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad Mahmud bahwa realitas membuktikan hingga sekarang ini mereka (manusia ; penulis) belum mampu untuk menetapkan hukum – baik menyangkut benda maupun perbuatan – secara final dan benar. Kita biasa menyaksikan betapa mereka selalu melakukan revisi dan perubahan terhadap berbagai undang-undang yang ada sehingga pengembangan sistem sistem hukum merupakan hal yang niscaya dalam menyelesaikan problematika mereka.[27] Oleh karenanya dalam Islam dimunculkan kaidah ushul tentang masalah kemaslahatan, yakni “Al hasan (terpuji) itu adalah apa-apa yang dikatakan baik oleh syara, dan al qabih (tercela) itu adalah apa-apa yang dinyatakan buruk oleh syara”, serta kaidah “ Al khair (Kebaikan) itu adalah apa-apa yang diridahi oleh Allah, dan as syarr (keburukan) itu adalah apa-apa yang dibenci oleh Allah”.[28] Kebenaran sesungguhnya tidak bergantung pada banyaknya orang, melainkan bergantung pada sumber kebenarannya. Dan sumber kebenaran yang hakiki, yang tidak dipersilisihkan lagi adalah Allah SWT, Tuhannya manusia, Yang menciptakan dan memberi aturan serta petunjuk hidup untuk manusia. Firman Allah SWT: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. al Baqarah: 147).

Keempat, realitas menunjukkan bahwa masyarakat dunia ini memiliki berbagai faham keyakinan (kepercayaan) dan agama, di mana masing-masing kepercayaan dan agama tersebut berbeda terhadap masalah ketuhanan dan standar nilai kebenaran. Jika demikian realitasnya, maka suatu hal yang mustahil jika masing-masing masyarakat yang berbeda agama dan kepercayaannya itu mengklaim bahwa perbuatan yang menurut akal mereka baik adalah sesuai dengan hukum Tuhan. Masyarakat Cina, Rusia, dan Kuba yang menganut faham komunis yang berasaskan faham materialisme – atheis (bisa) mengklaim bahwa apa yang baik menurut akal mereka adalah sesuai dengan hukum Tuhan, demikian pula masyarakat AS, Inggris, dan Eropa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen juga (bisa) mengklaim bahwa apa yang baik menurut akal mereka adalah sesuai dengan hukum Tuhan. Dan hal yang sama juga bisa diklaim oleh negeri-negeri Islam, bahwa apa yang baik menurut akal mereka adalah sesuai dengan hukum Tuhan. Lalu di antara berbagai macam perbuatan (dan pernyataan) tersebut, mana yang benar ? Tidak mungkin masyarakat komunis yang berasaskan materalisme-atheis mewakili hukum Tuhan, sebab mereka sendiri tidak mengakui adanya agama (Tuhan). Demikian pula orang Islam memandang bahwa selain Islam, semua agama yang ada adalah salah, hanya Islam yang benar. Akibatnya dalam pandangan Islam tidak mungkin apa yang baik menurut akal mereka adalah sesuai dengan hukum Tuhan (Allah SWT), sebab mereka yang tidak beragama Islam. Hal yang juga (akan) difahami oleh mereka yang beragama selain Islam. Oleh karenanya apa yang dilontarkan oleh Aquinas bahwa apa yang baik menurut akal mereka adalah sesuai dengan hukum Tuhan merupakan suatu perkara tidak bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan suatu aqidah (agama).

Kelima, dalam pandangan Islam kedudukan akal adalah sebagai dasar atau landasan seseorang untuk beriman kepada Allah SWT. Oleh karenanya tuntutan untuk beriman kepada Allah SWT hanya ditujukan kepada manusia atau orang-orang yang berakal. Sedangkan bagi mereka (sekalipun mereka adalah manusia) yang tidak berakal (yakni tidak sempurna akalnya, seperti anak kecil dan orang gila), maka tidak ada tuntutan bagi mereka untuk beriman kepada Allah. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara agama (keyakinan) dengan akal.

Menurut Muhammad Hanini, sekalipun peran akal telah diakui keberadaannya dalam Islam, akan tetapi dia (M. Hanini ; penulis) tidak menyerukan penggunaan aspek rasionalitas secara mutlak, karena seruan semacam ini keliru. Islam telah membatasi peran akal, tetapi tidak berarti memberangusnya secara keseluruhan. Pemberangusan peran akal secara keseluruhan pada dasarnya bertentangan dengan prinsip akidah Islam; dengan keberadaannya yang mesti dibangun atas dasar akal. Sikap demikian juga bertentangan dengan ratusan ayat yang diserukan kepada ulil albab, ulil nuha, dan ulil abshar agar mereka memikirkan alam semesta; mengungkap rahasia-rahasianya; serta memahami bahwa alam semesta pasti diciptakan oleh Al Khaliq, Allah SWT, yang wajib diesakan dalam ibadah. Setelah itu akal digunakan untuk membangun keimanan pada risalah nabi Muhammad SAW. Setelah keimanan ini terbentuk, baru dijelaskan tentang peran wahyu yang telah membatasi peran akal hanya sebagai alat untuk memahami nash-nash dan fakta, tanpa memposisikannya sebagai hakim (penentu benar dan salah) secara mutlak. Pembatasan atas peran akal seperti ini akan menghindarkan keimanan dari omong kosong dan keraguan; dari sekedar prasangka atau sikap taklid pada nenek moyang; serta dari pengingkaran terhadap bulatnya bumi, beredarnya bumi mengelilingi matahari (revolusi), dan seterusnya.[29] Artinya setelah seseorang beriman kepada Allah SWT dengan mempergunakan akalnya secara jernih, maka kewajiban selanjutnya dari seorang (muslim) tersebut adalah menundukkan akalnya di bawah wahyu (Al Quran dan As Sunnah). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga dia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa-apa yang dtang kepadaku, yakni kitabullah dan sunnah rasul-Nya” (HR. Muslim).

IV. PENUTUP

Dengan demikian terlihat perbedaan yang amat besar antara pemikiran Aquinas dengan pemikiran Islam dalam mendudukan peran akal dalam pembentukan suatu hukum. Dan dari pemaparan di atas setidaknya ada lima perbedaan yang cukup mendasar. Sekalipun konsep hukum yang diajukan oleh Aquinas mendapat pengaruh ajaran kristen, dimana Aquinas mengakui akan kemutlakan hukum Tuhan serta keharusan manusia untuk tunduk terhadap hukum Tuhan, namun Aquinas sendiri justru memberikan kebolehan manusia (melalui akalnya) untuk membentuk hukum sendiri, sekalipun hukum buatan manusia itu nantinya harus sesuai dengan hukum Tuhan.

Hal ini bertolak belakang dengan konsep pemikiran Islam tentang hukum. Dalam Islam yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWt semata. Tidak satu orang manusiapun yang berhak (turut campur) dalam menetapkan (membuat) hukum. Manusia (dalam hal ini akalnya) hanya bertugas untuk memahami fakta yang akan dihukumi dan memahami nash syara untuk menghukumi fakta yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA

Al Jawi, M. Shiddiq. (Trans). Abdul Qadim Zallum. Tanpa Tahun. Demokrasi : Sistem Kufur : Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarkannya. Tanpa Penerbit.

Amin, Abu dkk. (Trans). Taqiyuddin An Nabhani. 2003. Peraturan Hidup Dalam Islam. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah

Arifin, Mohammad. (Trans). W. Friedmann. 1996. Teori Dan Filasafat Hukum : Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum. Cetakan III. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Baidlowi, Ahmad & Imam Bahehaqi. (Trans). Henry J. Schmandit. 2002. Filfasat Politik : Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Hanini, Muhammad. Serangan Pemikiran Barat Terhadap Kaum Muslim. 2001. Artikel dalam “Majalah Al Wai’ie” No. 8 Tahun I.

Iskandar, Noer. (Trans). Abdul Wahhab Khallaf. 1996. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Mahmubah. (Trans). Ahmad Mahmud. 2002. Dakwah Islam. Jilid I. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.

-------------. (Trans). Ahmad Mahmud. 2003. Dakwah Islam. Jilid II. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.

Mc Leod, Ian. 1999. Legal Theory. London : Macmillan Law Masters.

Raharjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Cetakan III. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Soeroso, R. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan IV. Jakarta : Sinar Grafika.

Sudarsono. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan ketiga. Jakarta : Rineka Cipta.



[1]Sudarsono. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan ketiga. Jakarta : Rineka Cipta, hlm. 7.

[2]Satjipto Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Cetakan III. Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm. 259.

[3]Ibid., hlm. 259.

[4]Ibid., hlm. 259.

[5]Ibid., hlm. 265.

[6]Mohammad Arifin. (Trans). W. Friedmann. 1996. Teori Dan Filasafat Hukum : Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum. Cetakan III. Jakarta : RajaGrafindo Persada, hlm. 61.

[7]Ian Mc Leod. 1999. Legal Theory. Editor by Marise Cremona. London : Macmillan Law Masters, hlm. 35.

[8]Ibid.

[9]Ibid., hlm. 35 – 38.

[10]Satjipto Rahardjo. Op. cit., hlm. 164; Mohammad Arifin. (Trans). W. Friedmann. Op. cit., hlm. 62.

[11]Sudarsono. Op. Cit., hlm. 7-8. dan hlm. 104; untuk menulis hukum eternal”, Sudarsono menulis “lex ecternal”.

[12]Ibid.

[13]Ibid., hlm. 24 - 25.

[14]Ibid., hlm. 106-107.

[15]Ibid., hlm. 107.

[16]Satjipto Rahardjo menulis “lex eternal” dengan “lex aeterna

[17]Ibid., hlm. 264-265.

[18]Ahmad Baidlowi & Imam Bahehaqi. (Trans). Henry J. Schmandit. 2002. Filfasat Politik : Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 209.

[19]Ibid., hlm. 209-210.

[20]R. Soeroso. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan IV. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 69.

[21]Noer Iskandar. (Trans). Abdul Wahhab Khallaf. 1996. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada, hlm. 147.

[22]Noer Iskandar. Op. cit., hlm. 148.

[23]lihat QS. Al Ma’idah: 44, 45 & 47.

[24]M. Shiddiq Al Jawi. (Trans). Abdul Qadim Zallum. Tanpa Tahun. Demokrasi : Sistem Kufur : Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarkannya. Tanpa Penerbit, hlm. 29 – 30.

[25]Ibid., hlm. 30 – 31.

[26]Abu Amin, dkk. (Trans). Taqiyuddin An Nabhani. 2003. Peraturan Hidup Dalam Islam. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, hlm. 9.

[27]Mahmubah. (Trans) Ahmad Mahmud. 2002. Dakwah Islam. Jilid I. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, hlm. 182.

[28]Mahmubah. (Trans) Ahmad Mahmud. 2003. Dakwah Islam. Jilid II. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, hlm. 60.

[29]Muhammad Hanini. Serangan Pemikiran Barat Terhadap Kaum Muslim. 2001. Artikel dalam “Majalah Al Wai’ie” No. 8 Tahun I., hlm. 33.