Disamping periode Nabi Muhammad dan periode Khulafa Rasyidin. Periode pengembangan, pembinaan dan pembukuan hukum Fiqih Islam perlu dikaji dan dipahami dengan baik, karena dalam periode inilah hukum Islam dikembangkan lebih lanjut. Periode ini berlangsung lebih kurang 250 tahun lamanya, dimulai pada bagian kedua abad VII sampai dengan abad X Masehi. Dilihat dari kurun waktu ini, pembinaan dan pengembangan hukum Islam dilakukan dimasa pemerintahan Khalifah Ummayah (662-750) dan Khalifah Abbasiyah (750-1258). Dan oleh karena itu pula dalam kepustakaan sering dikatakan bahwa hukum fiqih Islam berkembang dimasa Ummayah dan berbuah di zaman Abbasiyah (Hazairin, 1955).
Hukum fiqih Islam sebagai salah satu aspek kebudayaan Islam mencapai puncak perkembangannya di zaman Khalifah Abbasiyah yang memerintah selama kurang lebih 500 tahun. Dimasa inilah lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fiqih Islam serta muncul berbagai teori hukum yang masih dianut dan dipergunakan oleh Ummat Islam sampai sekarang.
Abu Hanafiah (Al-Nukman Ibn Tsabit) : 700-767 M
Ia hidup di Kufah, Iraq yang letaknya jauh dari madinah tempat nabi Muhammad hidup dahulu. Berbeda dengan Madinah, ditempat banyak orang mendengar dan mengetahui sunnah nabi, di Kufah tidak banyak orang yang mengetahui benar tentang sunnah nabi Muhammad. Selain itu keadaan masyarakat Kufah jauh berbeda dengan keadaan masyarakat Madinah. Di Madinah penduduknya homogen dan hidup dalam suasana agraris. Di Kufah masyarakatnya heterogen, hidup dalam suasana kota yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Perbedaan diantara kedua tempat tersebut menyebabkan perbedaan masalah yang timbul dalam masyarakat. Ini menyebabkan pemecahan masalah hukumnya pun menjadi berbeda pula.
Selain itu intensitas penggunaan sumber hukum pun berbeda. Di Madinah, seperti disebut diatas, banyak orang yang mengetahui sunnah Nabi Muhammad. Selain yang menuliskannya sebagai catatan pribadi bayak yang menyampaikan secara lisan secara turun temurun. Karena itu kalau terjadi suatu masalah yang memerlukan pemecahan, orang yang menggunakan sunnahnabi untuk menyelesaikan persoalan itu. Di Kufah lain keadaannya. Karena mereka tidak banyak mengetahui tentang sunnah Nabi Muhammad, untuk memecahkan masalah masyarakat mereka yang relatif lebih kompleks itu, mereka lebih banyak mempergunakan pendapat atau pemikiran sendiri dengan Qiyas atau Analogi sebagai alatnya.
Perbedaan intensitas dalam mempergunakan sumber-sumber hukum ini, menyebabkan perbedaan-perbedaan pendapat yang akhirnya menimbulkan aliran-aliran pemikiran dalam hukum fiqih Islam. Karena Abu Hanafiah (dan kemudian murid-muridnya) banyak menggunakan fikiran atau Ra’yu dalam memecahkan masalah hukum, dalam kepustakaan mazhab Hanafi ini dikenal dengan sebutan Ahlur Ra’yu.
Banyak murid-muridnya yang menjadi Mujtahid Mazhab yang mengembangkan Mujtahid Mutlaknya itu. Diantaranya yang terkenal adalah Abu Yusuf (774-824) yang pernah menjadi hakim agung dalam pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Selain Abu Yusuf, terkenal pula As-Syaibani (724-811) yang menulis buku himpunan pendapat yang pernah dikemukakan Abu Hanafiah.
Malik Bin Anas 713-795 M
Malik Bin Anas, hidup dan mengembangkan fahamnya di Madinah, dimana banyak orang yang mengetahui Sunnah nabi. Oleh karena itu, Malik banyak mempergunakan Sunnah dalam memecahkan persoalan hukum. Malik sendiri menjadi pengumpul sunnah nabi. Ia menyusunnya dalam kitab hadits yang terkenal dengan nama Al-Muwatta. Karena isi kitabnya itu, Khalifah Harun Al-Rasyid pernah menyatakan keinginannya agar buku himpuna hadits hukum yang disusun oleh Malik Bin Anas itu dijadikan buku sumber resmi sumber hukum Fiqih Islam. Malik sendiri keberatan atas maksud Khalifah itu dengan alasan bahwa setiap tempat telah ada ahli hukum yang mempunyai pandangan sendiri tentan sumber hukum fiqih Islam, selain Al-Quran. Penolakan ini berarti Malik menghargai keaneka ragaman sumber hukum dalam pemecahan masalah pada situasi dan kondisi yang berbeda.
Muhammad Idris As-Syafi’i: 767-820 M.
Ia belajar hukum fiqih dari para mujtahid mazhab Hanafi dan Malik bin Anas. Karena itu pula ia mengenal baik tentang sumber hukum maupun mengenai metode yang mereka pergunakan. Karena itu pula ia dapat menyatukan kedua aliran itu dan merumuskan sumber-sumber hukum Islam.
Ahmad bin Hambal (Hanbal) : 781-855.
Ia belajar hukum dari beberapa ahli, termasuk Syafi’I, di beberapa tempat. Selain ahli hukum ia ahli pula tentang hadits Nabi. Berdasarkan keahliannya itu, seperti halnya dengan Malik bin Anas, ia menyusun kitab hadits terkenal bernama Al-Musnad atau Al-Masnad. Pendapat Ahmad bin Hambal ini menjadi pendapat resmi di Saudi Arabia sampai sekarang.
Keempat pendiri mazhab ini yang disebut ‘imam’ ini menyatakan bahwa sumber-sumber hukum mereka adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karena itu pula mereka menganjurkan agar para ahli yang datang kemudian mengambil hukum dari sumber yang sama. Sementara itu mereka menemukan juga cara pembentukan hukum melalui Ijmak dan Qiyas yang kemudian diakui dan dinyatakan oleh Syafi’I sebagai sumber hukum ketiga dan keempat. Dan sebagai pendapat manusia hasil Ijmak dan Qiyas ini tidak terhindar dari kemungkinan salah, karena itu tidak dapat dianggap sebagai pendapat yang final dan mutlak yang tidak mungkin berubah atau diubah lagi.
Selain perkembangan pemikiran hukum, dalam periode ini pulalah lahir teori penilaia mengenai baik buruknya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan nama Al-Ahkam Al-Khamsah.
Dan sebagaimana diketahui, sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad, dihmpun dalam satu naskah dizaman Khalifah Abu Bakar, dua tahun setelah Nabi Muhammad meninggal dunia dan disalin serta dibakukan dalam satu Mus-Haf Al-Quran standar di zaman Khalifah Usman.
Sebagaimana telah dikemukakan, berdasarkan cara pemberitaan atau jumlah orang yang menyampaikannya secara lisan turun temurun, hadis atau sunnah nabi dapat dibagi kedalam Mtawatir, Masyhur dan Ahad (ada juga yang mengelompokkan ke dalam Mutawatir dan Ahad). Dan berdasarkan kualitas atau tingkat Sanad-nya yakni mata rantai nama orang-orang yang meriwayatkan sesuatu hadits, hadits atau sunnah nabi dibagi kedalam tiga kategori yakni Sahih (Sehat), Hasan (baik/bagus), Da’if (lemah). Bukhari, seperti telah disebutkan mengemukakan lima kategori untuk mengatur pengelompokkan hadits atau sunnah nabi kedalam Sahih, Hasan dan Da’if. Kelima kategori itu adalah :
Kekuatan ingatan para pewarisnya yakni orang yang menyampaikan hadits atau sunnah secara lisan turun-temurun.
Kejujurannya.
Tidak terputus-putus mata rantai pewaris hadits bersangkutan
Isinya tidal cacat, dan
Tidak ada kejanggalan kalau dipandang dari sudut bahasa atau tata bahasanya.
Kalau semua dipenuhi hadits itu disebut sahih, satu atau dua kurang disebut hasan, lebih dari dua disebut da’if.
Demikianlah atas usaha para ahli, pada pertengahan abad ketiga hijriah atau akhir abad ke-9 dan permulaan abad ke-10 M tersusunlah kitab-kitab hadits yang terkenal dengan nama Al-Kutub As-Sittah (enam buah kitab hadits) masing-masing karya :
Bukhari, meninggal tahun 256 H/870 M
Muslim, meninggal tahun 261 H/875 M
Ibn Majah, meninggal tahun 273 H/877 M
Abu Daud, meninggal tahun 275 H/889 M
At-Tarmizi, meninggal tahun 279 H/892 M
An-Nasa’I, meninggal tahun 303 H/915 M
Dari angka-angka tahun meninggalnya para penyusun kitab-kitab hadits di atas, dapat diketahui bahwa mazhab atau aliran hukum Islam telah terbentuk sebelum Al-Kutub As-Sittah itu disusun.
MASA KELESUAN PEMIKIRAN (ABAD X – XI – XIX M)
Sejak permulaan abad ke-4 hijriah atau abad ke-10 – 11 M, ilmu hukum Islam mulai berhenti berkembang , ini terjadi di akhir pemerintahan atau dinasti Abbasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah dituangkan kedalam buku berbagai mazhab. Yang dipermasalahkan tidak lagi soal-soal dasar tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut Furu’ (Ranting).
Sejak itu mulailah gejala mengikuti saja pendapat para ahli sebelumnya (ittiba’-taqlid). Para ahli hukum dalam masa ini, tidak lagi menggali hukum (fiqih) Islam dari sumbernya yang asli, tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam mazhabnya masing-masing.
MASA KEBANGKITAN KEMBALI (ABAD KE-19 SAMPAI SEKARANG)
Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran Islam bangkit kembali. Ini terjadi pada bagian kedua abad ke-19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut diatas yang telah membawa kemunduran hukum islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali pada Al-Quran dan Sunnah. Gerakan ini, dalam kepustakaan disebut gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (= permulaan), generasi awal dahulu.
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid diatas, sesungguhnya pada periode kemunduran itu sendiri telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat. Pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziah (1292-1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke-17 oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia). Usaha ini dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) terutama dilapangan politik (H. M. Rasjidi, 1976:20). Dialah yang memasyhurkan ayat Quran (surat13:11) yang mengatakan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya sendiri. Ayat ini dipakainya untuk menggerakkan kebangkitan umat Islam yang pada umumnya dijajah oleh bangsa barat pada waktu itu. Ia menilai kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena penjajahan barat. Karena itu agar umat Islam dapat maju kembali, penyebabnya yaitu penjajahan barat harus dilenyapkan dahulu. Untuk itu ia menggalang persatuan seluruh umat Islam yang terkenal dengan nama Pan Islamisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar