Pluralitas dalam masyarakat Islam terasa sangat penting dan menemukan momentumnya untuk dibicarakan saat ini, ketika kerukunan agama yang sudah mulai memprihatinkan sebagian kalangan masyarakat, dimana dibeberapa daerah terjadi keributan, bentrokan dan aksi anarkis oknum golongan yang mengatasnamakan agama.
Islam adalah agama tauhid (monoteis) yang terjaga kemurniannya, sejak awal penyebarannya beberapa abad silam. Dari konsep tauhid kita tersadarkan bahwa sesungguhnya selain Allah adalah nisbi dan plural. Hanya Allah adalah Zat Yang Maha Esa (Ahad atau Satu), seperti ditegaskan dalam awal kalimat syahadat, la ilaha illa Allah. Keyakinan terhadap keesaan Allah ini dapat menumbuhkan kesadaran bahwa kemutlakan hanya milik Allah semata, dan yang lain adalah plural. Dengan demikian, tentang pluralitas dalam kaitannya dengan keesaan Allah dan pluralitas didalam Al-Quran adalah semakin mempertegas, bahwa mengakui adanya pluralitas didalam masyarakat berarti penegasan terhadap prinsip utama dalam Islam : Tauhid kepada Allah. Pluralitas manusia adalah Sunnatullah, dan karena itu dia tidak bisa dihilangkan sampai kapanpun, sekalipun hingga akhir zaman. Sebenarnya Allah bisa saja menciptakan “Ummatan Wahidah” (Satu Ummat), tetapi bukan hal itu yang diinginkan-Nya (QS al-Ma’idah/5:48 dan QS. Hud/11.118). didalam pluralitas mengandung makna adanya perbedaan, persamaan, dan keberanekaragaman, yang sangat fitrah, universal dan abadi.
Pluralitas tidak cukup sekedar dengan sikap mengakui dan menerima realitas masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan bahwa pluralitas itu mengandung nilai-nilai positif yang merupakan rahmat Allah kepada manusia. Sebab penerimaan positif itu akan memperkaya dan menumbuhkan sikap hidup bersama dan kompetisi yang sehat, yang disebutkan Al-Quran dengan fastabiqu al-khayrat (Berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan). Dan, karena itu, masyarakat plural senantiasa dituntut untuk hidup berdampingan, yang dipenuhi dengan persaingan yang sehat, serta membuahkan rahmat yang penuh cinta-kasih didalam kebhinekaan. Dalam Suasana Fastabiqu al-khayrat ini, masyarakat plural diajarkan untuk hidup dalam payung kerukunan. Perspektif teologi Islam tentang kerukunan hidup-apalagi antar ummat beragama berkaitan erat dengan doktrin Islam mengenai antara hubungan antara sesama manusia. Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan optimistis.
Semua perbedaan manusia selanjutnya mendorong mereka untuk saling mengenal dan menumbuhkan apresiasi dan respek satu sama lainnya. Perbedaan diantara Ummat manusia, dalam pandangan Islam, bukanlah karena warna kulit dan bangsa, tetapi hanyalah bergantung pada tingkat ketaqwaan masing-masing (QS. Al-hujarat/49:13). Dengan demikian, perbedaan antar manusia seharusnya mendatangkan rahmat, sebagaimana ditegaskan Nabi SAW dalam Hadisnya, ikhtilafu ummati rahmatun, yang berarti perbedaan diantara ummatku adalah rahmat, bukan menghasilkan tindak kekerasan atau anarkhi seperti belakangan yang sering di beritakan.
Jelas bahwa ajaran kerukunan dalam doktrin Islam tentang pluralitas adalah suatu keniscayaan. Hidup tanpa sikap yang plural sangat rentan terjadi tindak kekerasan / tindak anarki lainnya. Rasa saling menghargai dan menjaga kerukunan antar ummat manusia harus dikembangkan.
Kebebasan Beragama di Indonesia.
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2010 data pemerintah menyebutkan, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan.
Kebebasan beragama di Indonesia sebenarnya sudah memiliki jaminan konstitusional yang cukup kuat. Berbagai produk hukum dan ratifikasi kesepakatan internasional, mulai dari UU No. 39 Tahun 1999 Tentang hak asasi manusia sampai diratifikasi nya ICCPR. Secara normatif negara menjamin kebebasan masyakatnya untuk memeluk dan menjalani keyakinannya. Tetapi hal tersebut ternyata tidak diikuti implementasi dilapangan. Penegak hukum terbilang lamban dan lemah dari segi pencegahan dan pembinaan masyarakat. Selalu sempat terjadi aksi kekerasan yang tentu sangat mencoreng nama Indonesia dimata internasional sebagai negara majemuk, yang berpenduduk muslim terbesar dan tersebar diribuan suku bangsa. Tentu hal ini harus ditanggapi dengan kerja ekstra oleh pemerintah dan penegak hukum, karena tak dapat dipungkiri, banyak perbedaan membuat masyarakat rentan berkonflik.
Masalah tindak kekerasan dan keributan yang akhir-akhir ini dibeberapa daerah yang berkaitan dengan konflik antar ummat beragama maupun karena perbedaan tafsir ummat agama itu sendiri secara internal, tidak bisa juga masyarakat disini dipersalahkan secara penuh, tetapi juga harus ada peran aktif pemerintah, pihak keamanan dan ulama masing-masing agama itu sendiri untuk dapat mendialogkan secara komprehensip dan berkelanjutan disemua tingkatan daerah tentang perbedaan pendapat tafsir dan persilisihan yang terjadi, agar tidak terjadi keributan ditingkat bawah, tetapi dapat diselesaikan pada tingkat kalangan ulama dan para tokoh agama itu sendiri. Pihak keamanan melakukan tindakan prefentif untuk menjegah terjadinya gesekan-gesekan antar ummat. Semoga tindak kekerasan yang terjadi bahkan sampai merusak rumah ibadah dan menimbulkan korban jiwa tidak terulang kembali. Sudah banyak kerugian, baik materil maupun korban jiwa serta kehormatan bangsa yang terkoyak.
Oleh : Adam Parawansa Shahbubakar
Terbit rubrik Opini Banjarmasin Post 16 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar