Senin, 06 Desember 2010

Mempertanyakan Otoritas Akal

Mempertanyakan Otoritas Akal

Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna. Dia dikaruniai sebuah media untuk mengenali segala sesuatu. Media untuk menampung sekian banyak memori yang ditangkap. Sarana untuk menguak rahasia ciptaan Tuhan di muka bumi. Sebuah kemampuan kognitif yang membedakannya dari makhluk-makhluk Tuhan yang lain; Akal.

Begitu pentingnya akal, sampai-sampai al-Qur'an menyebutkannya dengan berulang-ulang. Berapa kali al-Qur'an menyinggung kalimat, Afalaa ta'qiluun (apakah kamu tidak berpikir?), fa'tabiruu ya ulil albab (hendaklah berpikir wahai orang-orang yang berakal!), Aku turunkan kitab pada kalian, mengenai diri kalian. Apakah kalian tidak berpikir?" (Qs. al-Anbiya':10).

Untuk menguak kandungan makna ayat-ayat "misterius" dibutuhkan sebuah akal yang benar-benar mumpuni. Wama ya'lamu ta'wilahu illa Allah wa al-rasikhuun fi al-ilm (Qs. al-Imran:7). Kalimat al-Rasikhuun berarti orang yang mempunyai pengetahuan yang luas (intelek). Gelar ini hanya bisa diperoleh oleh orang yang berakal cerdas dan tanggap.

Wahyu Allah atau al-Qur'an menekankan perhatiannya pada dasar-dasar agama. Al-Qur'an kemudian menyerahkan tugas untuk menerjemahkannya ke dalam bentuk perintah dan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari kepada manusia. Dia dituntut untuk menjaga dan mengembangkan hukum yang digali sesuai dengan konteks zaman. Dengan kemampuan yang dimiliki mereka menentukan sebuah hukum dari al-Qur'an. Itulah yang kemudian menyebabkan adanya istinbat, ijtihad, dan perselisihan pendapat antarcendikiawan Islam.

Demikian pula dalam sebuah hadits, "Berpikir sekejap saja lebih baik dari pada ibadah selama 70 tahun". Dengan akal akan dapat menguak rahasia ciptaan Allah. Dengan demikian dampak positifnya adalah bagi keimanan. Tak heran jika kemudian para intelektual Islam mengatakan bahwa akal tidak bisa dipisahkan dari Islam. Pada akhirnya mereka mengklaim Islam sebagai agama yang selalu menggunakan akal. Al-Islam diin al-'aql.

Di sisi lain, dalam sebuah literatur keislaman disebutkan bahwa Sayyidina 'Ali r.a pernah bersabda "Bila akal menjadi pijakan agama, maka bagian bawah sepatu (Khuf) lebih pantas untuk dibasuh, daripada bagian atasnya" (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Hadits ini diperkuat dengan statemen Imam al-Syafi'i tentang dekadensi umat Islam "Manusia tidak akan bodoh dan tidak akan berbeda pendapat kecuali ketika manusia meninggalkan lisan Arab (Islam, al-Qur'an atau wahyu) dan cenderung pada lisan Aristoteles (filsafat)".

Dalam redaksi di atas Imam Syafi'i memberi gambaran mengenai konsekuensi dari dua buah ajaran. Ajaran pertama lebih cenderung untuk membawa manusia pada sebuah solidaritas keagamaan yang cukup kuat; al-Qur'an yang memakai bahasa Arab. Ajaran kedua adalah ajaran yang cenderung berselisih pendapat antara satu dengan yang lain, filsafat.

Sejarah mencatat bahwa perbedaan pendapat dalam filsafat telah menjadi tradisi. Aristoteles membantah dan menghujat Plato, gurunya sendiri. Ibnu Sina tidak sepakat dengan Aristoteles dan demikian seterusnya (lihat: Tahafut al-Falasifah, Abu Hamid al-Ghazali). Penyebab utama dari terjadinya selisih pendapat tersebut adalah karena ukuran (mizan al-fikri) yang dipakai ilmu filsafat adalah akal, sedangkan kemampuan akal per-indivudu manusia berbeda dalam menangkap dan menginterpretasi sebuah konteks sebab berbedanya kecerdasan dan ketajamannya (lihat: al-Islam wa al-Aql, Abd. Halim Mahmud).

Maka dalam banyak ritual Islam seperti sujud, wudlu', mandi besar dan kewajiban shalat akal seseorang tidak mampu untuk merasionalkannya: ada batas-batas tertentu yang tidak bisa dijangkaunya; ada banyak tempat yang tidak bisa dijamah oleh kemampuan kognitif seseorang.

Di samping kadangkala akal tidak bisa memuaskan hasrat seseorang. Al-Ghazali justru terjebak dalam kebingungan setelah dia memasuki dunia filsafat. Pengembaraan rohani yang dialami al-Ghazali mencapai titik klimaksnya setelah beliau tahu inkonsistensi akal. Beliau menggambarkannya dalam kitab Munqidz min al-Dhalal: jika kita melihat benda dari jauh, maka akal mengatakan itu "A". Setelah benda itu semakin dekat, akal akan menyuruh kita mengatakan itu "B". Setelah benda itu ada di depan mata akal akan mengatakan bahwa itu "C" -dan keputusan terakhir itu belum tentu benar. Dari sinilah kemudian beliau meninggalkan dunia filsafat.

Disini sekilas ada paradoksal doktrin yang mendasar: makalah Imam 'Ali r.a mentiadakan peran akal sama sekali dalam agama. Akal tidak memiliki peran. Padahal banyak ayat yang menganjurkan untuk memakai akal dalam menentukan hukum syara'.

Di manakah sebetulnya posisi akal dalam Islam? Sebetulnya, jika kita telaah dengan lebih cermat dan mendalam antara agama dan akal tidak bertentangan. Bahkan justru saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Agama (al-Qur'an) tidak akan bisa dipaham tanpa bantuan akal yang cerdas (Qs. Al-Imran ayat 7). Akal tidak akan mencapai tingkatan tertinggi tanpa agama. Keduanya bagaikan prosesor dan layar monitor yang tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, peran agama-sebagai prosesor-lebih penting dan berarti dalam menentukan langkah-langkah yang akan diambil. Artinya, ketika akal dan agama berseberangan, yang diprioritaskan adalah agama. Agama akan selalu menuntun kita pada kebenaran sejati dari Allah. Sedangkan akal terkadang justru menyeret kita pada bahaya kesesatan yang terselubung.

Konklusinya, agama menuntun akal seseorang dalam semua aspek kehidupan yang bila ditinggalkan akan menyesatkan dan tidak pernah sampai pada kebenaran sejati. Semua aspek itu meliputi: satu, keyakinan dan akidah agama (teologi). Kedua, hukum-hukum agama (syari'at) dan ketiga Prinsip-prinsip moral dan etika (norma sosial). Selain ketiga daerah di atas, akal lebih mendominasi. Seperti untuk menjawab pelbagai permasalahan cosmos (alam, planet dan lain sebagainya) (lihat: al-Islam wa al-Aql : 27).

Akal juga sangat dibutuhkan untuk menguak rahasia kekuasaan Allah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang seharusnya disertai dengan keimanan dan ketakwaan yang tinggi kepada Allah. Al-Qur'an sangat menganjurkan umat Islam untuk mempelajari ilmu-ilmu kauniyah (tentang alam, geografi dsb.) untuk kemajuan dan mengembalikan supremasi Islam yang hilang, seperti pada masa al-Faraby, al-Jabary, Ibnu Hamdun, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Ghazaly dan tokoh lain di abad pertengahan. Terobosan fenomenal mereka memberikan catatan dengan tinta emas pada sejarah Islam.

Dus, jika demikian, pantaslah kiranya kalau Islam kita sebut sebagai agama rasional; rasional dengan daerah kekuasaan yang ada di bawah doktrin syariat. Al-Din qa'id li al-aql. Tidak seperti praktek yang dilakukan oleh orang-orang Liberalis yang memposisikan akal sebagai qa'id (penuntun) bagi agama.

2 komentar:

  1. B. surya darma/B1A00711313 Desember 2010 pukul 06.41

    wassalam....
    ma’af bru bsa krim skrang agument ny……
    OK,,to the point...
    mempertanyakan otoritas akal dlam agama....
    saya sngat setuju bahwa kesempurna'an manusia terletak pada akal ny,,tapi akal yang bagaimana??yaitu akal yang berlandaskan pada agama sehingga lebih memprioritaskan agama yang di letakan dalm pondasi berpikir melalui akal itu tadi...
    dengan begitu maka akan lebih menyempurnakan kedudukan manusia di dlam roda kehidupan... meski sebenarnya kesempurna'an yang senyatanya adalah mlik allah SWT semata bukan manusia,tapi di sini kita berbicara ratio nya dalam kehidupan di mana berjalannya berdasarkan takdir(ketentuan tuhan)dan usaha manusia itu sendiri yaitu berdasar pda akal pikirannya tadi....
    benar pula bahwa bnyak yg kita temui sa'at ini manusia menggunakan akal sbg prioritas ny dan begitu saja melupakan akan pentingnya agama mereka sbg pondasi...
    sehingga dapat dikatakan menyesatkan,contoh yang nyata akan kesesatan dlam pola pengguana'an akal tanpa di landasi pemahaman akan agama yaitu:adanya aliran2 sesat seperti aliran Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka.
    sebalik nya dalam ilmu ke agama’an sya setuju terhadap pendapat yang menyatakan untuk meniadakan akal tapi tidak sepenuhnya di tiadakan….
    Karena pada dasar ny dalam ilmu ke agama’an ada hal2 yang tak bisa di jangkau oleh batasan akal seorang manusia sehingga jika di nalar2 akan menimbulkan pola2 pikir yang negative…
    Maka keyakinan lah yang memgang peranan penting dalam kita memegang agama sehingga pola2 pikir yang negative itu teratasi,namun akal berperan juga dalam hal menentukan mana yang baik sedangkan kebenarannya sesuai dengan kaidah2 agama…
    Dengan yakin maka tidak perlu mempertanyakan tentang apa, bagaimana, danpertanya’an2 konyol lainnya yang memang tak bisa di jangkau oleh akal karena sudah dsarnya pula agama adalah sesuatu yang kita yakini dan tentunya dengan berpegang pada suatu hal seperti agama di mana saya menganggapagama tersebut memberikan sya sugesti2 yang positif maka tidak slah pula jika kita berpegang pada apa yang di sebut agama dan ketuhanan…
    Akal itu sendiri juga di gunakan dalam hal mencari nilai2 sejarah dan pengembangan ke agama’an dan bidang2 lain dlam aspek kehidupan ini disesuaikan dengan agama yang kita yakini itu begitulah saya meletakan akal itu dalam hal otoritasnya…
    Agama sebagai penuntun menuju suatu hal yang benar dan tidak benar dalam pondasi akal….
    Akal sebagai penalaran akan baik dan buruk ny suatu hal….
    Keyakinan sebagai pegangan kita dalam menjalan kan syari’at ke agama’an dan menalar suatu hal yang tak terjangkau oleh akal….
    Dan semuanya itu memang sangat erat kaitannya….
    Sekian & trims slah khilaf kta mhon ma’af brother
    Moga bermanfa’at hasil penugasan kita…..
    Nama: Bernadius surya darma
    NIM: B1A007113

    BalasHapus
  2. Pada dasarnya, akal merupakan asas untuk (1) membuktikan kebenaran Islam, dan (2) untuk memahami ajaran Islam, serta semua hal yang berhubungan dengan Islam.

    Pertama, jika semesta pembicaraannya adalah akal sebagai alat untuk membuktikan keabsahan Islam sebagai agama, maka kita bisa menyatakan bahwa peran akal di sini berfungsi sebagai dalil (alat bukti). Misalnya, keimanan seorang muslim terhadap eksistensi Allah, Muhammad Utusan Allah, serta al-Qur’an sebagai kalamullah didasarkan pada dalil ‘aqliy. Artinya, akal sebagai dalil untuk membuktikan apakah Allah SWT itu eksis atau tidak, al-Qur’an itu kalamullah atau tidak, dan Muhammad itu utusan Allah atau bukan. Dalam tiga hal ini, Islam telah menggariskan bahwa akal berfungsi sebagai dalil atau alat untuk menguji ketiganya. Keimanan terhadap eksistensi Allah, al-Qur’an sebagai kalamullah, dan Mohammad sebagai utusan Allah, adalah fundamen paling mendasar yang akan membangun keseluruhan ajaran Islam. Sedangkan ketiga hal mendasar ini dibangun di atas pembuktian akal. Berarti, Islam adalah ajaran yang disangga di atas akal.

    ‘Aqidah dan Syariah==
    ||
    * Keimanan terhadap eksistensi Allah
    * Keimanan terhadap Muhammad sebagai utusan Allah
    * Keimanan terhadap al-Qur’an sebagai Kalamullah
    ||
    Akal (sebagai alat bukti)

    Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kedudukan akal di atas wahyu. Tidak boleh dipahami demikian. Peran akal di sini hanyalah sebagai alat untuk membuktikan kebenaran dan keshahihan ajaran Islam. Setelah, terbukti bahwa Allah itu eksis, Muhammad itu benar-benar utusan Allah, dan al-Qur’an adalah kalamullah, akal bisa menetapkan, bahwa semua hal yang terkandung di dalam al-Qur’an merupakan kebenaran yang tidak bisa disanggah lagi. Semua yang terkandung di dalam al-Quran mesti diyakini kebenarannya dan diamalkan oleh seluruh kaum muslim. Misalnya, keyakinan terhadap jin, malaikat, dan hari akhir tidak lagi didasarkan pada akal, akan tetapi didasarkan pada dalil naqliy yang telah dibuktikan kebenarannya melalui jalan akal, yakni al-Qur’an dan sunnah mutawatir. Setiap muslim harus tunduk dengan apa yang dibawa oleh Muhammad Saw. Akalnya harus tunduk dan menerima dengan pasrah semua perkara yang dibawa oleh Muhammad Saw, meskipun itu bertentangan dengan akalnya. Akal tidak bisa menjangkau, mengapa Allah SWT menciptakan surga, mengapa sholat mesti lima waktu dan seterusnya. Dalam perkara semacam ini, akal mesti tunduk di bawah wahyu, akalnya tidak boleh didudukkan sejajar atau lebih tinggi dibandingkan wahyu.

    Kedua, adapun peran akal yang kedua adalah memahami wahyu (ajaran Islam) dan semua hal yang berhubungan dengannya. Tatkala seorang telah percaya kepada al-Qur’an dan Nabi Saw, maka ia dituntut untuk melaksanakan semua yang terkandung di dalamnya. Kewajiban untuk melaksanakan kandungan isi al-Qur’an mengharuskan seseorang untuk memahami teks-teks al-Qur’an serta semua hal yang berhubungan dengannya; misalnya memahami fakta yang hendak dihukumi dan sebagainya. Misalnya, seseorang tidak mungkin bisa mengerjakan sholat lima waktu sesuai dengan sunnah, jika ia tidak memahami dengan akalnya tatacara sholat yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw. Seorang muslim juga tidak akan bisa menghukumi dengan tepat status suatu perbuatan atau benda jika ia tidak memahami secara rinci fakta dari perbuatan dan benda tersebut.

    Demikianlah, kedudukan akal tidak lebih hanyalah sekadar sebagai alat pembukti dan alat untuk memahami wahyu. Pembuktian terhadap eksistensi Allah, Muhammad utusan Allah, dan al-Qur’an sebagai kalamullah, didasarkan pada akal. Sedangkan, penetapan hukum atas suatu perbuatan dan benda —yang dikaitkan dengan halal haram— harus didasarkan pada wahyu, bukan akal. Akal hanya berfungsi untuk memahami, bukan berkedudukan sebagai dalil. Dalilnya tetap al-Qur’an dan sunnah, sedangkan akal hanya berfungsi untuk memahami dalil dan fakta yang hendak dihukumi.Wallahu a’lam bi al-shawab. [Syamsuddin Ramadhan]

    BalasHapus